Jakarta -
Minggu, 4 Agustus 2019 lalu, saya menghadiri sebuah diskusi bertajuk Meredupnya Demokrasi di Indonesia yang diselenggarakan Saiful Mujani Research and Consultant (SMRC) di Menteng, Jakarta Pusat. Diskusi ini merupakan warming up dari Konferensi Internasional dengan tajuk senada yang digelar SMRC pada 7 Agustus di Bali.
Dalam diskusi tersebut, SMRC merilis hasil penelitiannya mengenai demokrasi di Indonesia dalam tujuh tahun terakhir. Saiful Mujani mewakili SMRC menjelaskan bahwa tingkat demokrasi di Indonesia telah memperlihatkan penurunan kinerja yang cukup serius. Sedikitnya ada dua dimensi yang diamati SMRC dalam melihat fenomena ini; pemenuhan hak politik dan kebebasan sipil.
Pada dua dimensi ini, SMRC menemukan sejumlah realitas yang menegaskan performa demokrasi di Indonesia menurun. Isu kebebasan berkeyakinan dan beragama menjadi sorotan utamanya. Masih kuatnya tindak diskriminatif terhadap kaum minoritas yang seringkali berakhir dengan tindak kekerasan merupakan salah satu indikasi ketiadaan kebebasan sipil untuk menjadi berbeda. Menguatkan pendapat bahwa kini kita berkembang menjadi sebagai bangsa yang intoleran.
Saiful mencontohkan masalah Ahok pada konstelasi Pilkada DKI Jakarta 2017 silam untuk menguatkan hasil penelitiannya. Ia mengungkapkan bahwa Ahok menjadi bukti kasatmata bahwa Indonesia belum siap mendapatkan pemimpin kawasan yang berlainan keyakinan dengan keyakinan golongan mayoritas. Dengan gaya khasnya, Saiful bahkan enteng berkelakar pada salah satu audiens yang dikenalnya yang (tampaknya) seorang Katolik taat, "Jadi kalo lo mau jadi Gubernur DKI Jakarta, lo kudu masuk Islam dulu." Tentu saja, guyonnya disambut tawa riuh hadirin yang datang.
Dipandu Ade Armando, pakar Ilmu Komunikasi UI, hasil penelitian SMRC yang dipaparkan sang founder dikritisi oleh dua orang pembicara lainnya, Mochtar Pabottinggi, seorang peneliti senior LIPI, dan Abdul Malik Gismar, dosen senior Paramadina Graduate School.
Saya menaruh perhatian cukup dalam pada paparan Abdul Malik Gismar. Bukan saja alasannya responsnya pada hasil penelitian SMRC sedikit berbeda. Lebih dari itu, beberapa hal yang disampaikan memperlihatkan pemahaman yang komprehensif dalam melihat praktik demokrasi di Indonesia ketika ini.
Alih-alih menyebutnya dengan "redup", Malik menentukan memakai kata "ketidakpuasan" pada praktik demokrasi kita. Gelombang ketidakpuasan demokrasi ini merupakan tanda-tanda global yang bukan saja dialami oleh Indonesia, tapi juga oleh negara-negara demokrasi lainnya semisal Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Dalam konteks Indonesia, Malik sependapat dengan hasil penelitian SMRC. Mengutip data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada rentang 2009-2017, Malik memaparkan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan relatif baik, baik dalam pemenuhan hak politik maupun kebebasan sipil.
Pada dimensi kebebasan sipil—berdasarkan pada empat praktik demokrasi; kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi—Malik berbeda pendapat dengan hasil temuan SMRC. Menurutnya, meski keempat variabel kebebasan sipil memperlihatkan penurunan, hal tersebut justru bukan pada kebebasan berkeyakinan apalagi kebebasan dari diskriminasi, tapi pada kebebasan berpendapat.
The Elephant in The Room
Tanpa menyederhanakan masalah-masalah diskriminasi dan intoleransi, berdasarkan Malik, kecenderungan konflik dan ketegangan antaragama memang masih kerap terjadi di Indonesia. Namun, konflik dan ketegangan antaragama yang didorong oleh perbedaan nilai-nilai antaragama itu sendiri sebetulnya telah (dan masih sedang) diupayakan terus menerus melalui dialog-dialog antaragama, meminimalkan perbedaan, dan menemukan kesamaan antara nilai-nilai agama. Langkah-langkah tersebut ternyata berjalan baik-baik saja selama ini.
Jika pun masih ada perselisihan agama di Indonesia terkait dengan pengelolaan keragaman agama, hal tersebut bukan alasannya nilai-nilai agama yang saling bertentangan atau permusuhan agama yang mengakar. Salah satu konflik paling umum antara Muslim dan Katolik di Indonesia, misalnya, terkait dengan pembangunan rumah ibadah. Masalah terjadi ketika orang Katolik ingin membangun sebuah gereja di wilayah secara umum dikuasai Muslim, dan sebaliknya, ketika umat Islam ingin membangun masjid di wilayah secara umum dikuasai Kristen.
Undang-Undang dengan sangat terang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan segala ritus di dalamnya pada kehidupan mereka. Masalahnya, kerapkali jaminan dari negara ini dimanifestasikan dalam sebuah hukum yang buruk. Misal, ketika pendirian rumah ibadah harus disertai izin dari warga di sekitar lokasi pendirian. Aturan ini, berdasarkan Malik, sangat gampang ditebak ending-nya alasannya sarat konflik. Selain, tentu saja, sensitif. Masalah dengan peraturan ini yaitu bahwa ia menurunkan persoalan yang sangat sensitif dan berpotensi meledak ke jalanan yang tidak menyediakan ruang musyawarah yang serius dan hati-hati. Malik berpendapat, musyawarah ini hanya bisa diakomodasi di ruang dewan legislatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
Gambaran ini barangkali sanggup menjelaskan hasil temuan IDI terkait kebebasan berkeyakinan dan beragama yang nilainya masih relatif baik. Malik mengira info intoleransi yang kerap berujung agresi kekerasan bisa saja terjadi bila urusan SARA tersebut dipolitisasi.
Data IDI memperlihatkan bahwa persoalan utama dalam praktik berdemokrasi kita ketika ini yaitu kebebasan berpendapat. Pada dimensi ini, pegawapemerintah masih memakai pendekatan-pendekatan represif dalam merespons pendapat-pendapat yang berseberangan, baik dalam sejumlah agresi demonstrasi maupun kritik melalui media sosial.
Padahal, sangat mungkin bila pendapat yang berseberangan tersebut lahir sebagai ekspresi ketidakpuasan sipil pada sejumlah hal yang dihadapinya sehari-hari; wacana harga-harga materi pokok yang mahal, harga tanah yang melambung tinggi, fasilitas kesehatan yang buruk, jalanan yang rusak, jalan masuk pendidikan yang sulit, lapangan pekerjaan yang minim, biaya hidup yang melangit, dan lain sebagainya. Keluh pendapat sipil berkaitan hajat hidup yang tidak diakomodasi dan diurus dengan baik oleh negara akan sangat mungkin meredupkan—bahkan mengancam—praktik demokrasi kita.
Dengan kata lain, Malik ingin menegaskan hasil temuan IDI untuk mengkritisi hasil penelitian SMRC tersebut, bahwa bahaya demokrasi kita lahir dari hal-hal paling sepele yang sayangnya kerap diabaikan. Ketidakpuasan kinerja pemerintah pada sejumlah masalah yang paling biasa: kebutuhan dasar yang (jangan-jangan) dibahas saja tidak, apalagi dicarikan solusinya secara serius. Mirip ungkapan the elephant in the room.
Semut di Seberang Lautan
Diskusi Minggu pagi tersebut menyisakan refleksi tersendiri bagi saya sebagai rakyat sipil wacana makhluk berjulukan demokrasi yang multiwajah. Saya menduga, lembaga tersebut juga merupakan sebuah ikhtiar pencarian para andal dan akademisi wacana faktor X yang sanggup menjamin demokrasi kita tetap stabil. Sebagaimana juga demokrasi yang tersusun dari elemen-elemen yang kompleks, barangkali faktor X yang saya maksud memang semacam semut di seberang lautan—yang tak gampang ditemukan.
Sebegitu sulitkah?
Barangkali tidak—atau sekurang-kurangnya tidak terlampau sulit. Malik membantu saya memahami ini dengan lebih simpel—meski tentu saja ini bukan masalah yang sederhana. Mengadopsi apa yang dikatakan Michael Billig dalam Banal Nationalism bahwa nasionalisme direproduksi melalui hal-hal yang banal di kehidupan keseharian kita, maka ia beropini bahwa demokrasi juga hanya bisa dijaga stabil dengan hal-hal yang banal.
Saya coba memahami apa yang dikatakan Malik ini melalui insiden "kecil"—yang cukup menjengkelkan—di tengah diskusi: padamnya listrik. Bukan saja sedikit mengganggu fokus alasannya penjelasan-penjelasan dari para narasumber jadi terdengar lamat-lamat (karena mikrofon yang mati), ruangan yang mendadak panas alasannya pendingin yang mati juga membikin hadirin sedikit terusik kenyamanannya.
Diketahui kemudian, insiden pemadaman listrik ini bukan semata kesalahan teknis penyelenggara program atau prank dari kantor gres SMRC. Ia menjadi info nasional alasannya pemadaman berlangsung di seluruh area Ibu Kota dan sekitarnya, selama lebih dari 10 jam!
Pemadaman listrik di Ibu Kota pada hari Minggu hingga Senin kemudian tidak sanggup dianggap remeh—meski kita kerap mengabaikan keberadaannya alasannya ia masalah banal yang mengiringi keseharian kita. Bagi sipil yang kadung hidup dengan listrik ibarat saya dan warga ibukota lainnya, pemadaman listrik ini tentu menjadi final zaman kecil—jika berlebihan menyebutnya bencana.
Bukan apa, imbas yang ditimbulkan nyatanya cukup signifikan. Ia bukan saja menjadi gangguan kecil pada diskusi publik yang tengah asyik berjalan, tapi juga berpotensi melumpuhkan kegiatan sebuah kota. Ia tidak semata menciptakan ASI-ASI beku di lemari-lemari pendingin menjadi bau dan terbuang sia-sia, tapi juga telah menciptakan kemudian lintas jalanan Ibu Kota chaos bukan main; macet di mana-mana. Tak sekadar transportasi publik terganggu alasannya MRT, LRT, dan KRL yang gagal beroperasi, tapi juga berpotensi meninggalkan stress berat pada penumpang yang dievakuasi hingga mereka tetapkan kembali memakai kendaraan pribadi. Atau, bahkan ini bukan cuma soal transaksi online yang tak berjalan, tapi juga telah merugikan sektor bisnis di hari itu.
Listrik, air, tanah, udara dan hal-hal banal lainnya dalam kehidupan kita memang tidak akan pernah terasa/menjadi apa-apa hingga kita kehilangannya. Bagi yang telah memilikinya, perkara-perkara ini tak akan jadi soal. Bagi mereka yang papa dengan itu semua, seharusnya negara menjamin ketersediaannya bagi seluruh rakyat. Dari sana, barangkali kita bisa menyusun kembali nation dan demokrasi yang selama ini didamba.
Melalui citra inilah, kita patut menduga, jangan-jangan selama ini kita tidak sibuk mencari-cari "semut di seberang lautan" dalam demokrasi kita. Namun, kita hanya kerap melupakan "gajah" yang berseliweran di depan hidung kita.
Posting Komentar