Jakarta -
Perlambatan ekonomi dunia masih menjadi perhatian. Ekonom Bank Dunia menilai perlambatan ekonomi global semakin meluas dan terus berdampak terhadap banyak negara. Sejak Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari semula 2,9 persen menjadi 2,6 persen, beberapa negara mulai menyiapkan rangkaian kebijakan untuk mencegah dampak perlambatan tersebut besar lengan berkuasa terhadap kinerja perekonomian di negaranya, tidak terkecuali Indonesia. Perlambatan ekonomi global dikhawatirkan akan berimbas pada lesunya undangan ekspor dan investasi Indonesia sehingga mensugesti pertumbuhan ekonomi.
Asian Development Bank (ADB) dalam publikasinya Asian Development Outlook 2019 merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 negara-negara di Asia. Menurut ADB, ekonomi Indonesia 2020 akan tumbuh sebesar 5,3 persen. Di Asia Tenggara, pada 2020 pertumbuhan ekonomi tertinggi diproyeksikan akan ditempati oleh Kamboja dan Myanmar dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen, disusul oleh Vietnam sebesar 6,7 persen. Proyeksi ini sesuai dengan sasaran pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan Pemerintah dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 yang berkisar 5,2 hingga 5,5 persen.
Posisi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup menggembirakan. Meskipun menjadi kabar baik, fakta tersebut tetap menjadi tantangan bagi pemerintah. Optimisme mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi perlu didukung langkah-langkah strategis. Penting bagi pemerintah untuk mengukur potensi pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah melalui pertolongan sosial dan pemberian tunjangan hari raya (THR) dan gaji-13 bagi aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Polri, serta pensiunan berusaha meningkatkan belanja masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bantuan sosial diberikan semoga konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah bisa didongkrak. Sementara pemberian THR dan gaji-13 untuk meningkatkan konsumsi berpenghasilan menengah pada periode Ramadhan dan Hari Raya Idhul Fitri.
Selain itu, pemerintah perlu menjaga inflasi pada level terkendali untuk memaksimalkan daya beli masyarakat. Saat terjadi kenaikan harga, umumnya masyarakat akan menekan pengeluarannya dan berdampak pada penurunan permintaan. Pemerintah menargetkan inflasi 2020 berada pada kisaran dua hingga empat persen. Sampai Mei 2019, inflasi tahun kalender Indonesia tercatat sebesar 2,05 persen, sementara inflasi tahun ke tahun sebesar 3,28 persen. Jika angka inflasi ini sanggup bisa dikendalikan hingga simpulan tahun, maka pengeluaran konsumsi tidak akan mengalami stagnasi.
Kedua, investasi baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Perang dagang Amerika Serikat dan China seharusnya membuka peluang investasi untuk masuk ke Indonesia. Perang tarif antara Amerika Serikat dan China memaksa beberapa pelaku bisnis di China untuk memindahkan basis bisnisnya atau relokasi perjuangan ke negara lain. Beberapa negara di Asia Tenggara menjadi destinasi pilihan, tidak terkecuali Indonesia.
Berdasarkan data BPS pada Triwulan I-2019, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi berkontribusi 32,17 persen terhadap PDB Indonesia. Namun faktanya, investasi di Indonesia belum memperlihatkan kabar bahagia. Pada Triwulan I-2019, pertumbuhan investasi justru turun sebesar 5,74 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara, untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan pemerintah mematok pertumbuhan investasi harus berada pada kisaran 7 hingga 7,4 persen dengan kebutuhan investasi mencapai Rp 5.823,2 triliun.
Pencapaian kebutuhan investasi yang tinggi sangat membutuhkan tugas swasta dan PMA. Pengeluaran konsumsi masyarakat kelas atas diharapkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi akan tetapi sikap masyarakat kelas ini cenderung menahan konsumsi untuk investasi perlu juga menjadi perhatian. Solusi terbaik yaitu memastikan investasi dari masyarakat kelas atas tidak lari keluar Indonesia. Rangkaian kebijakan yang berafiliasi dengan investasi menjadi sangat krusial, baik itu terkait perbaikan infrastruktur, produktivitas tenaga kerja, maupun simplifikasi regulasi untuk menarik perhatian investor.
Berkaca pada negara kompetitor menyerupai Vietnam, Myanmar, dan Thailand, Indonesia harus mengatakan kelebihannya semoga dilirik para investor. Tiga negara tersebut merupakan negara-negara ASEAN yang seringkali menjadi pilihan bagi investor untuk berinvestasi. Vietnam secara logistik memang masih kalah dengan Indonesia, tetapi fasilitas perizinan serta posisi dalam value chain yang lebih tinggi menciptakan Vietnam bisa mendorong minat investor masuk ke negaranya. Sementara itu, Thailand mempunyai kelebihan dengan infrastruktur dan logistik yang lebih kuat.
Daya tarik investasi di Indonesia perlu didorong untuk menarik minat investor yang akan merelokasi basis usahanya. Pemerintah telah meluncurkan Online Single Submission (OSS) di mana seluruh perizinan sanggup diurus satu pintu melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menjawab fasilitas soal perizinan investasi. Sayangnya, penerapan OSS ini belum berjalan secara optimal. Waktu yang diharapkan dalam hal perizinan masih cukup usang meskipun sudah satu pintu ke BPKM --BKPM belum mempunyai wewenang pribadi untuk memutuskan. Pengajuan izin masih harus diteruskan terlebih dahulu ke kementerian atau forum teknis terkait, termasuk ke pemerintah tempat tempat investasi dituju sehingga membutuhkan waktu dan proses yang panjang.
Ketiga, daya saing industri manufaktur. Pada Triwulan I-2019, sektor industri manufaktur tercatat mengatakan donasi tertinggi terhadap PDB Indonesia sebesar 20,07 persen. Hanya saja, pertumbuhan industri manufaktur setiap triwulannya selama empat tahun terakhir tercatat masih berkisar antara tiga hingga empat persen. Memasuki periode revolusi industri 4.0, Indonesia bahwasanya telah menyiapkan roadmap "Making Indonesia 4.0" sebagai seni administrasi untuk mendorong pergerakan industri nasional. Salah satu yang perlu disiapkan yaitu seni administrasi bisnis semoga Indonesia sanggup meningkatkan kiprahnya dalam rantai nilai global. Performa industri manufaktur di Indonesia perlu ditingkatkan semoga sanggup berorientasi ekspor.
Daya ungkit industri manufaktur memang besar untuk menggerakkan motor perekonomian. Selain berkaitan dengan penciptaan nilai tambah, pertumbuhan industri manufaktur juga berperan dalam penciptaan lapangan kerja, menarik investasi, dan memungkinkan transfer teknologi. Kebijakan terkait optimalisasi pertumbuhan industri manufaktur perlu terus dikaji dan dievaluasi semoga sanggup mencapai pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan.
Posting Komentar