Jakarta -Publik menanggapi terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan secara berbeda-beda. Ada yang bersemangat, berharap Nadiem membawa perubahan segar dalam pendidikan Indonesia. Tapi ada juga yang skeptis, menganggap Nadiem tak sempurna berada di posisi itu, sebab ia masih terlalu muda dan belum pernah berkecimpung di dunia pendidikan.
Apa konsep pendidikan yang akan dijadikan sebagai fondasi kebijakan-kebijakan pendidikan oleh Nadiem? Bagi saya pertanyaan itu salah kaprah jikalau ditujukan ke sosok Nadiem. Nadiem hanyalah seorang menteri, pembantu presiden. Konsep yang paling dasar soal kebijakan seharusnya ada pada presiden. Nah, apa konsep pendidikan Presiden Joko Widodo?
Jujur saja, saya tidak melihat ada kata kunci besar soal pendidikan dalam banyak sekali pernyataan Presiden Jokowi soal pendidikan. Itu pula yang tercermin dalam kinerja Menteri Pendidikan selama 5 tahun terakhir. Yang sempat bikin heboh ialah rencana untuk menjalankan full day school yang ditentang banyak orang. Tak terperinci pula konsep apa yang menjadi dasar impian itu. Kemudian yang tahun kemudian menciptakan heboh ialah sistem zonasi dalam penerimaan siswa di sekolah negeri.
Bagaimana pembagian terstruktur mengenai konsep pendidikan yang selaras dengan industri itu? Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah akan merancang pendidikan dan pembinaan sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini dinilai penting mencetak calon-calon pemikir, penemu, dan entrepreneur jago di masa depan. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas insan Indonesia juga akan ditekankan pada perbaikan kualitas guru, mulai dari proses penyaringan, pendidikan keguruan, pengembangan pembelajaran, dan metode pengajaran yang sempurna dengan memanfaatkan teknologi.
Kata kunci pada jadwal itu ada tiga, yaitu "sesuai kebutuhan industri", "meningkatkan kualitas guru", dan "memanfaatkan teknologi". Kalau dirangkai, pemerintah akan meningkatkan kualitas guru, melatih mereka membuatkan banyak sekali metode pengajaran dengan memakai teknologi untuk mendidik bawah umur muda semoga siap bekerja sesuai kebutuhan industri.
Pertanyaan berikutnya, industri macam apa? Ketika bicara soal industri, orang sering pribadi bicara soal Industri 4.0. Nadiem dianggap sebagai tokoh yang sukses dengan bisnis jenis 4.0 ini. Maka, mungkin cocoklah jikalau beliau yang jadi menteri.
Industri apa yang dimiliki Indonesia? Kita harus dengan jujur mengakui bahwa industri kita sesungguhnya masih belum jauh beranjak dari industri "pertukangan". Datangilah banyak sekali daerah industri, maka yang akan kita temukan ialah perusahaan-perusahaan gila yang mendirikan pabrik di sini. Ada yang membangun pabrik di sini sebab produk yang mereka hasilkan akan dijual di sini. Sebagian yang lain hanya meminjam tempat, menikmati lahan dan tenaga kerja murah, untuk memproduksi barang yang akan dijual ke banyak sekali negara lain.
Kita nyaris tidak mempunyai industri yang secara dapat berdiri diatas kaki sendiri membuatkan produk. Kita tidak punya teknologi untuk melaksanakan itu. Kita tidak punya SDM yang memadai untuk membangun teknologi itu. Kalau konteksnya industri Indonesia yang mandiri, Industri 4.0 itu ialah mimpi yang masih jauh tinggi di awang-awang.
Cina ialah negara raksasa dengan industri raksasa pula. Tapi ingat, industri Cina tidak melulu berupa industri raksasa. Ada begitu banyak industri kecil menengah di Cina, dan sebagian besar beroperasi dengan cara Industri 2.0. Barang-barang Cina yang membanjiri pasar kita ketika ini sebagiannya ialah produk industri kecil dan menengah Cina.
Artinya, kita sesungguhnya punya PR besar untuk membangun industri kecil menengah, guna memproduksi barang-barang kebutuhan kita sendiri, yang ketika ini sebagian besar masih diimpor dari Cina. Apa yang diperlukan untuk membangun industri itu? Manusia. Manusia ialah sentral pada industri kecil menengah.
Di Jepang dikenal sosok shokunin, pengrajin yang tekun, yang membuatkan produk, memproduksinya dalam skala kecil menengah, dengan tenaga insan sebagai pusat kekuatannya. Hidup matinya industri ini ditentukan oleh kemahiran dan etos kerja para pekerjanya. Tidak cuma Jepang yang begitu, Cina pun demikian.
Kalau kita sekali lagi berkunjung ke daerah industri, kita akan bertemu dengan para pekerja. Apa keluhan investor soal pekerja kita? Umumnya mereka mengeluh soal disiplin, etos kerja, dan integritas. Itu semua tentu saja berujung pada produktivitas. Boro-boro berkreasi membangun industri sendiri, bekerja pada orang lain saja pun kita tak becus.
Nah, bagaimana pendidikan menuntaskan duduk masalah ini? Lihatlah sekolah-sekolah kita. Apa yang terjadi di sana? Murid-murid dijejali dengan banyak sekali pelajaran, tapi minim pendidikan karakter. Guru-guru juga masih banyak yang bermasalah dalam hal karakter, disiplin, dan integritas.
Bagi saya ini duduk masalah mendasar dalam pendidikan kita. Sekolah harus dapat mendidik bawah umur kita menjadi bawah umur yang disiplin, punya rasa tanggung jawab, etos kerja, dan kreativitas. Untuk mencapai itu tidak perlu mengubah kurikulum. Jangan hingga ganti menteri ganti kurikulum lagi. Cukup ubah contoh pikir para guru, ubah pendekatan pendidikan. Peningkatan kualitas guru ibarat yang diprogramkan tadi fokuskan untuk mengubah contoh pikir, disiplin, etos kerja, dan integritas para guru.
Saya membayangkan sebuah sekolah yang dengan penuh kasih mengajari bawah umur untuk tertib antre, rajin menjaga kebersihan, disiplin soal waktu, hormat pada guru. Semua itu ditegakkan dengan kasih, bukan bahaya sanksi. Anak-anak diajak untuk eksplorasi dan berpikir, bukan jadi pendengar setia ocehan guru-guru, atau lebih jelek lagi, jadi penghafal. Bisakah Nadiem mengubah sekolah yang ada kini menjadi sekolah yang demikian? Semoga.
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Posting Komentar