Jakarta -
Paket demokrasi yang berkembang ketika ini (yang kita kenal dengan demokrasi liberal) tumbuh dalam suatu masa di mana informasi belum berkembang sebanyak ini, pada masa industri yang berkembang secara mekanik. Kita memasuki masa ledakan informasi dan perkembangan teknologi digital yang amat pesat. Kita ketika ini memasuki masa gres ledakan informasi dalam bentuk byte dan digit yang diproduksi terus-menerus tanpa henti.
Menurut Benjamin Barber, profesor politik Amerika Serikat, dalam artikelnya The Near Death of Democracy problem demokrasi ketika ini bukanlah kelangkaan informasi tetapi kelebihan informasi (information overload). Praktik, konsepsi, dan institusi demokrasi yang kita kenal ketika ini sedang diancam serius oleh teknologi digital. Dengan munculnya Artificial Intellegence, Internet of Things, big data, blockchain, dan lain-lain kita menghadapi tantangan gres dalam cara kita memahami dan mempraktikkan demokrasi.
Baru-baru ini, beberapa peneliti Oxford yang tergabung dalam Oxford Internet Institute (OII) merilis laporan perihal bagaimana disinformasi itu terjadi dalam perhelatan demokrasi. Laporan riset sebanyak 26 halaman berjudul The Global Disinformation Order 2019 itu atas nama Phillip N Horward dan Samantha Bradshaw. OII melaksanakan riset di tujuh puluh negara mulai Amerika Serikat hingga China dan Arab Saudi. Indonesia termasuk dalam negara-negara Asia Tenggara yang diriset bersamaan dengan negara-negara menyerupai Malaysia, Thailand, Myanmar, dan lainnya.
Riset tersebut membuka fakta bahwa di banyak negara, opini publik, data, dan informasi dimanipulasi oleh segelintir orang dengan tujuan tertentu dengan metode computational propaganda. Yakni, metode propaganda penggunaan media sosial, big data, otomasi dan algoritma untuk membentuk opini publik. Beberapa kesimpulan dari riset tersebut cukup membuat kita bertanya, bagaimana demokrasi harus bertahan di masa digital ini?
Pertama, selama hampir dua tahun dari 2017 hingga 2019 terjadi peningkatan 150% negara-negara yang memakai media umum sebagai alat manipulasi kampanye pemerintah atau partai politik. Kedua, dari 70 negara yang diriset, 87% negara memakai akun orisinil (atau yang kita kenal dengan istilah pendengung/buzzer), 80% negara memakai akun bot (akun otomatis yang dikelola mesin), 11% memakai akun cyborg (gabungan antara bot dan manusia) dan 7% negara memakai akun palsu yang dicuri atau diretas. Akun-akun itu dipakai untuk mendesain bagaimana sikap dan persepsi insan dalam dunia maya dibentuk.
Ketiga, dari segi pesan 71% negara melaksanakan propaganda pro-pemerintah atau propaganda pro partai politik, 89% memakai computational propaganda untuk menyerang oposisi politik, dan 34% negara membuatkan informasi yang mempolarisasi masyarakat dalam suatu isu. Keempat, banyak bintang film yang memakai computational propaganda membentuk, melatih, dan melaksanakan investasi besar-besaran. Sebagai pola China, diperkirakan 300 ribu hingga dua juta orang diperkerjakan dalam hal ini.
Indonesia sendiri dalam riset tersebut ditemukan memakai bot dan insan dalam propaganda media sosial. Aktor yang terlibat ialah politisi, partai politik, dan kontraktor privat. Dari segi pesan, disinformasi di Indonesia diketahui terjadi untuk melaksanakan support pada pemerintah atau partai politik tertentu, menyerang mereka yang berseberangan dan pembelahan masyarakat dalam suatu isu. Sementara taktik yang dipakai ialah disinformasi dan amplifikasi pesan dalam media umum dan biasa dipakai secara temporer dalam moment atau isu-isu tertentu.
Yang mungkin mengejutkan ialah asumsi biaya dalam 'bisnis' ini di Indonesia diperkirakan 1-50 juta dalam banyak sekali kontraknya. Indonesia masuk dalam kapasitas rendah penggunaan computational propaganda ini. Negara tetangga menyerupai Vietnam disebut melatih tim yang terdiri dari 10.000 orang sehingga memasukkannya dalam kapasitas tinggi penggunaan computational propaganda.
Demokrasi dan Informasi
Riset OII membuka kotak pandora dalam diskursus demokrasi dan informasi. Selama ini banyak orang memahami bahwa keberadaan media umum dan perkembangan teknologi digital akan berkorelasi eksklusif dengan demokrasi. Euforia banyak pihak mengklaim bahwa keterbukaan informasi di masa digital dan media umum ini mengguncang banyak pemerintahan absolut di negara-negara Arab mulai dari Libya, Tunisia, Mesir dan Irak.
Selama ini dipahami bahwa media umum dan internet secara inheren demokratis. Tapi hasil riset tersebut membuat kita melihatnya dalam realitas yang berbeda. Seperti dikemukakan Jamie Bartlett dalam bukunya The People vs Tech, alih-alih mendukung dan memperkuat demokrasi, teknologi digital bisa menjadi mimpi jelek (dystopian) bagi demokrasi yang kita kenal ketika ini.
Ada enam pilar penting bagi Bartlett untuk mengukur apakah demokrasi berfungsi. Yakni penduduk yang aktif, partisipatif dan bisa untuk membuat keputusan moral secara independen; penerimaan demokrasi sebagai kultur bersama di mana perselisihan dan konflik bisa diselesaikan melalui prosedur demokrasi; pemilihan umum yang bebas, fair dan bisa dipercaya; kesetaraan di antara warga negara, masyarakat sipil yang independen, dan kompetitif secara ekonomi; dan, otoritas berdaulat yang bisa dipercaya.
Dari enam pilar yang disampaikan Bartlet, kita patut panik melihat riset yang dirilis oleh OII. Bagaimana pilar keputusan individu yang aktif dan independen dalam membuat keputusan moral diancam oleh manipulasi bot dan cyborg melalui informasi yang tersebar di media sosial. Suatu pesan yang mencerai-beraikan masyarakat bisa direkayasa oleh sekelompok organisasi atau bahkan oleh pemerintah.
Munculnya politik identitas, kemarahan, harapan, dan ketakutan bisa dimanipulasi dan direkayasa dengan pesan yang tersebar secara presisi dan masal. Dan, lebih angker lagi, demokrasi tidak lagi menjadi pengejawantahan daulat rakyat, tetapi daulat segelintir orang yang menguasai teknologi, data, dan informasi dalam cara yang selama ini mungkin masih kurang jelas bagi kita.
Kehidupan online serta sikap kita di dalamnya bukanlah suatu yang terpisah ketika ini. Dalam studi yang dikeluarkan oleh CISCO, diproyeksikan pada tahun 2025 90% populasi insan terhubung dengan internet. Seorang Professor Oxford, Luciano Floridi menyebutnya sebagai kehidupan yang onlife (online+offline) di mana batas antara kehidupan online dan offline menjadi kabur. Apa yang terjadi di kehidupan online bukanlah bab terpisah dari kehidupan offline manusia. Sayangnya kita mungkin belum mendiskusikan problem tersebut, sementara masalah-masalah usang masih menumpuk.
Media sosial ialah lingkungan gres informasi yang menjadi arena gres bagi demokrasi yang melampaui pemahaman kita perihal ruang publik klasik. Selain banjir informasi, tantangan demokrasi ke depan ialah memastikan ruang digital yang kita terima higienis dari polusi dan manipulasi informasi. Demokrasi membutuhkan informasi yang tersedia benar dan sanggup dipertanggungjawabkan.
Coba bayangkan bagaimana jikalau sebuah kelompok kecil melaksanakan amplifikasi pesan untuk membuat kerusuhan di Papua atau tempat lainnya melalui disinformasi dan propaganda melalui teknologi digital? Preferensi kita terhadap suatu warta dipengaruhi secara tidak sadar oleh banjir informasi yang ada di kehidupan online. Kita menyerupai masuk dalam film fiksi Black Mirror:Banderstnach dimana tokoh utama berjulukan Stefan Burtlet tidak mempunyai kuasa atas dirinya. Ia hidup dalam realitas paralel yang didesain oleh orang lain yang entah siapa; dikuasai oleh realitas maya yang berada di luar dirinya melalui cara-cara yang tidak bisa ia ketahui. Cukup mengerikan?
Sidik Nur Toha PU Jurnal TRADISI, Ketua PMII Cabang Sleman
Menurut Benjamin Barber, profesor politik Amerika Serikat, dalam artikelnya The Near Death of Democracy problem demokrasi ketika ini bukanlah kelangkaan informasi tetapi kelebihan informasi (information overload). Praktik, konsepsi, dan institusi demokrasi yang kita kenal ketika ini sedang diancam serius oleh teknologi digital. Dengan munculnya Artificial Intellegence, Internet of Things, big data, blockchain, dan lain-lain kita menghadapi tantangan gres dalam cara kita memahami dan mempraktikkan demokrasi.
Baru-baru ini, beberapa peneliti Oxford yang tergabung dalam Oxford Internet Institute (OII) merilis laporan perihal bagaimana disinformasi itu terjadi dalam perhelatan demokrasi. Laporan riset sebanyak 26 halaman berjudul The Global Disinformation Order 2019 itu atas nama Phillip N Horward dan Samantha Bradshaw. OII melaksanakan riset di tujuh puluh negara mulai Amerika Serikat hingga China dan Arab Saudi. Indonesia termasuk dalam negara-negara Asia Tenggara yang diriset bersamaan dengan negara-negara menyerupai Malaysia, Thailand, Myanmar, dan lainnya.
Pertama, selama hampir dua tahun dari 2017 hingga 2019 terjadi peningkatan 150% negara-negara yang memakai media umum sebagai alat manipulasi kampanye pemerintah atau partai politik. Kedua, dari 70 negara yang diriset, 87% negara memakai akun orisinil (atau yang kita kenal dengan istilah pendengung/buzzer), 80% negara memakai akun bot (akun otomatis yang dikelola mesin), 11% memakai akun cyborg (gabungan antara bot dan manusia) dan 7% negara memakai akun palsu yang dicuri atau diretas. Akun-akun itu dipakai untuk mendesain bagaimana sikap dan persepsi insan dalam dunia maya dibentuk.
Ketiga, dari segi pesan 71% negara melaksanakan propaganda pro-pemerintah atau propaganda pro partai politik, 89% memakai computational propaganda untuk menyerang oposisi politik, dan 34% negara membuatkan informasi yang mempolarisasi masyarakat dalam suatu isu. Keempat, banyak bintang film yang memakai computational propaganda membentuk, melatih, dan melaksanakan investasi besar-besaran. Sebagai pola China, diperkirakan 300 ribu hingga dua juta orang diperkerjakan dalam hal ini.
Indonesia sendiri dalam riset tersebut ditemukan memakai bot dan insan dalam propaganda media sosial. Aktor yang terlibat ialah politisi, partai politik, dan kontraktor privat. Dari segi pesan, disinformasi di Indonesia diketahui terjadi untuk melaksanakan support pada pemerintah atau partai politik tertentu, menyerang mereka yang berseberangan dan pembelahan masyarakat dalam suatu isu. Sementara taktik yang dipakai ialah disinformasi dan amplifikasi pesan dalam media umum dan biasa dipakai secara temporer dalam moment atau isu-isu tertentu.
Yang mungkin mengejutkan ialah asumsi biaya dalam 'bisnis' ini di Indonesia diperkirakan 1-50 juta dalam banyak sekali kontraknya. Indonesia masuk dalam kapasitas rendah penggunaan computational propaganda ini. Negara tetangga menyerupai Vietnam disebut melatih tim yang terdiri dari 10.000 orang sehingga memasukkannya dalam kapasitas tinggi penggunaan computational propaganda.
Demokrasi dan Informasi
Riset OII membuka kotak pandora dalam diskursus demokrasi dan informasi. Selama ini banyak orang memahami bahwa keberadaan media umum dan perkembangan teknologi digital akan berkorelasi eksklusif dengan demokrasi. Euforia banyak pihak mengklaim bahwa keterbukaan informasi di masa digital dan media umum ini mengguncang banyak pemerintahan absolut di negara-negara Arab mulai dari Libya, Tunisia, Mesir dan Irak.
Selama ini dipahami bahwa media umum dan internet secara inheren demokratis. Tapi hasil riset tersebut membuat kita melihatnya dalam realitas yang berbeda. Seperti dikemukakan Jamie Bartlett dalam bukunya The People vs Tech, alih-alih mendukung dan memperkuat demokrasi, teknologi digital bisa menjadi mimpi jelek (dystopian) bagi demokrasi yang kita kenal ketika ini.
Ada enam pilar penting bagi Bartlett untuk mengukur apakah demokrasi berfungsi. Yakni penduduk yang aktif, partisipatif dan bisa untuk membuat keputusan moral secara independen; penerimaan demokrasi sebagai kultur bersama di mana perselisihan dan konflik bisa diselesaikan melalui prosedur demokrasi; pemilihan umum yang bebas, fair dan bisa dipercaya; kesetaraan di antara warga negara, masyarakat sipil yang independen, dan kompetitif secara ekonomi; dan, otoritas berdaulat yang bisa dipercaya.
Dari enam pilar yang disampaikan Bartlet, kita patut panik melihat riset yang dirilis oleh OII. Bagaimana pilar keputusan individu yang aktif dan independen dalam membuat keputusan moral diancam oleh manipulasi bot dan cyborg melalui informasi yang tersebar di media sosial. Suatu pesan yang mencerai-beraikan masyarakat bisa direkayasa oleh sekelompok organisasi atau bahkan oleh pemerintah.
Munculnya politik identitas, kemarahan, harapan, dan ketakutan bisa dimanipulasi dan direkayasa dengan pesan yang tersebar secara presisi dan masal. Dan, lebih angker lagi, demokrasi tidak lagi menjadi pengejawantahan daulat rakyat, tetapi daulat segelintir orang yang menguasai teknologi, data, dan informasi dalam cara yang selama ini mungkin masih kurang jelas bagi kita.
Kehidupan online serta sikap kita di dalamnya bukanlah suatu yang terpisah ketika ini. Dalam studi yang dikeluarkan oleh CISCO, diproyeksikan pada tahun 2025 90% populasi insan terhubung dengan internet. Seorang Professor Oxford, Luciano Floridi menyebutnya sebagai kehidupan yang onlife (online+offline) di mana batas antara kehidupan online dan offline menjadi kabur. Apa yang terjadi di kehidupan online bukanlah bab terpisah dari kehidupan offline manusia. Sayangnya kita mungkin belum mendiskusikan problem tersebut, sementara masalah-masalah usang masih menumpuk.
Media sosial ialah lingkungan gres informasi yang menjadi arena gres bagi demokrasi yang melampaui pemahaman kita perihal ruang publik klasik. Selain banjir informasi, tantangan demokrasi ke depan ialah memastikan ruang digital yang kita terima higienis dari polusi dan manipulasi informasi. Demokrasi membutuhkan informasi yang tersedia benar dan sanggup dipertanggungjawabkan.
Coba bayangkan bagaimana jikalau sebuah kelompok kecil melaksanakan amplifikasi pesan untuk membuat kerusuhan di Papua atau tempat lainnya melalui disinformasi dan propaganda melalui teknologi digital? Preferensi kita terhadap suatu warta dipengaruhi secara tidak sadar oleh banjir informasi yang ada di kehidupan online. Kita menyerupai masuk dalam film fiksi Black Mirror:Banderstnach dimana tokoh utama berjulukan Stefan Burtlet tidak mempunyai kuasa atas dirinya. Ia hidup dalam realitas paralel yang didesain oleh orang lain yang entah siapa; dikuasai oleh realitas maya yang berada di luar dirinya melalui cara-cara yang tidak bisa ia ketahui. Cukup mengerikan?
Sidik Nur Toha PU Jurnal TRADISI, Ketua PMII Cabang Sleman
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Posting Komentar