Jakarta -
Dalam sebuah kesempatan ketika kiprah di Selandia Baru, saya bersama beberapa dosen dari Indonesia berkunjung ke rumah adat Suku Maori. Suku Maori yaitu penduduk orisinil Selandia Baru. Kami menerima permintaan dari sentra kebudayaan Maori di dalam komplek kampus Auckland University of Technology (AUT).
Rumah adat suku Maori disebut Marae. Rumah adat tersebut dikelilingi pagar kayu yang rapat setinggi sekitar dua meter lebih sedikit. Dari luar pagar tidak sanggup dilihat apa yang ada di dalam sebab susunan pagar kayu yang rapat. Dari pihak kampus AUT sebelumnya memberitahukan kepada kami bahwa tidak ada jaminan kami sanggup diterima masuk bahkan ke dalam pagar rumah adat Maori.
Mengapa? Suku Maori akan menanyakan terlebih dahulu kepada leluhur mereka melalui suatu ritual khusus untuk memastikan bahwa kami tidak membawa imbas jahat atau negatif kepada mereka. Makara sementara mereka melaksanakan ritual, kami hanya sanggup menunggu dari luar pagar. Sesekali terdengar semacam kidung-kidung dengan bahasa yang tidak kami kenal, Bahasa Maori.
Secara teknis perilaku yang ditunjukkan oleh tuan rumah dalam melaksanakan agresi ritual penyambutan atau lebih tepatnya seleksi atas tamu yang akan memasuki rumah adat mereka tampak sederhana. Namun kesederhanaan dan ritual yang mereka tunjukkan itu membawa kesan yang mendalam bagi kami sebagai tamu.
Selanjutnya saya bersama 19 dosen utusan Kemenristekdikti lain yang ada ketika itu mencicipi kesan yang sama: tidak berani sembarangan ketika memasuki rumah adat tersebut. Walaupun kami sadar bahwa ada kemungkinan lain dari ritual yang ditunjukkan tersebut yaitu sebuah skenario atraksi menyambut tamu/wisatawan tetap saja kami tidak berani coba-coba untuk bersikap sembarangan.
Ada satu hal lagi yang cukup mengesankan. Setelah kami dipersilakan masuk ke dalam rumah adat dan sedikit basa-basi sambutan, selanjutnya kami dipersilakan untuk makan bersama. Aneka jenis hidangan sudah disiapkan dan kami makan bersama. Uniknya semua orang termasuk tuan rumah wajib membawa sendiri piring-piring dan gelas kotor yang telah digunakan dan menaruhnya di akrab dapur.
Tidak ada pelayan yang mengambil gelas dan piring kotor bekas makan tamu. Hal ini dilakukan sebab orang Selandia Baru berpedoman: Engkau memang tiba sebagai tamu, tetapi ketika pulang engkau telah menjadi pecahan dari keluarga kami. Bukan keluarga namanya bila piring dan gelas yang sudah digunakan tidak dibawa sendiri ke dapur atau daerah cucian piring.
Itulah yang dilakukan orang Selandia Baru untuk menjaga adat sekaligus harga diri mereka sebagai sebuah bangsa. Selandia Baru telah menjadi tujuan jutaan orang wisatawan dari seluruh dunia. Orang Selandia Baru sadar bahwa selain alamnya yang memang masih terjaga dan indah, kebudayaan juga menjadi daya tarik yang dihentikan begitu saja takluk dengan bisnis pariwisata.
Wisatawan memang diperlukan tiba dengan uang dan belanjanya, tetapi harga diri dan kehormatan mereka tetap dijaga sehingga walaupun posisi kami sebagai utusan negara pun harus melalui saringan ritual sebelum memasuki rumah adat mereka.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah seberani dan segagah orang Maori dalam mendapatkan wisatawan? Apakah kita sanggup dan berani menciptakan skenario yang menciptakan wisatawan tidak berani sembarangan ketika contohnya memasuki rumah joglo atau tempat-tempat ritual dan keagamaan?
Ada banyak cara yang bersama-sama dimiliki oleh kearifan lokal aneka macam budaya di Nusantara dalam menyambut tamu. Tujuannya hampir sama dengan yang dilakukan suku Maori yaitu melaksanakan seleksi awal apakah si tamu membawa imbas negatif atau tidak terhadap lingkungan secara fisik atau batin pemilik rumah.
Namun sebab sebagian dari kita tidak paham dan kadang gagap menghadapi tamu-tamu khususnya wisatawan berduit, nilai-nilai sakral budaya setempat jadi terabaikan. Maka muncullah berita-berita semacam rombongan wisatawan berbuat tak sopan di desa wisata atau wisatawan melecehkan daerah yang dianggap sakral oleh kelompok masyarakat tertentu.
Ketidakpahaman warga masyarakat ini memang harus dijembatani dengan baik oleh orang-orang yang paham dengan isu-isu pariwisata global. Kondisi bisnis pariwisata ketika ini sangat berbeda dengan lima tahun ke belakang. Saat ini dengan fasilitas saluran dan teknologi informasi menciptakan orang-orang dari seluruh Indonesia bahkan dunia gampang menjadi wisatawan.
Dahulu wisatawan sering dikoordinasi dalam grup-grup besar yang di dalamnya ada tour leader dan pemandu wisata yang membantu mengarahkan. Kini dengan adanya aplikasi travel online, wisatawan lebih banyak dalam bentuk grup kecil atau individu. Mereka sering tidak merasa perlu tour leader atau pemandu wisata sebab semua dianggap sanggup dicari dari Google.
Apabila pengelola aneka macam destinasi berbasis budaya tersebut tidak memahami situasi tersebut, maka ketahanan budaya dan harga diri pelaku bisnis pariwisata di Indonesia akan dianggap sanggup dibeli dengan uang. Wisatawan tidak merasa perlu berguru kesopanan dan adat sebagai tamu sebab tidak dikenalkan instrumen penyaring menyerupai yang dilakukan oleh Suku Maori tadi.
Posting Komentar