Jakarta -
Negara seluruh dunia kini ini sedang mempersiapkan diri menghadapi resesi. Hal itu terjadi sesudah Turki dinyatakan sah mengalami resesi pada awal September 2019 yang lalu. Ini mengakibatkan efek bagi perdagangan dunia, juga termasuk bagi Indonesia.
Meskipun Indonesia belum memasuki fase tersebut, alasannya yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi masih 5%, tetapi kewaspadaan terhadap resesi harus menjadi perhatian utama.
Resesi berdasarkan KBBI diartikan kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya. Jika ini terjadi, maka akan menghipnotis iklim investasi di Indonesia, termasuk akan menghipnotis masalah dunia ketenagakerjaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 14 tahun 2015 perihal Rencana Strategis Kementerian Ketenagakerjaan 2015-2019, pada 2009-2014 Indonesia mengalami penambahan lapangan kerja daripada angkatan kerja. Namun, tidak diketahui untuk periode tahun 2015-2019. Namun, dalam Peraturan Menteri tersebut juga dinyatakan bahwa pemerintah bersedia memfasilitasi mengenai penciptaan lapangan kerja sebanyak 10 juta orang selama lima tahun.
Untuk menggenjot hal tersebut, pemerintah mempunyai kegiatan andalan untuk mempermudah iklim investasi, yaitu Online Single Submission, yang konon sanggup mempermudah izin berusaha, tidak hingga satu jam saja. Dan ini memang terbukti efektif, alasannya yaitu jalur birokrasi untuk memperoleh izin perjuangan dipersingkat dan tidak terlalu lama.
Kembali mengenai bahaya resesi, pemerintah perlu melaksanakan benchmarking terhadap penciptaan lapangan kerja sebanyak 10 juta orang selama lima tahun tersebut, alasannya yaitu bahaya resesi otomatis akan menghipnotis jumlah tenaga kerja sehubungan dengan bahaya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ancaman PHK ini tidak main-main alasannya yaitu menyangkut harkat hidup masyarakat, terutama dalam masalah ekonomi keluarga mereka.
Langkah Pemerintah
Terhadap masalah PHK, khususnya dalam kasus tertentu pemerintah telah mempunyai kebijakan biar bagaimana pengusaha tidak melaksanakan PHK terhadap pekerjanya.
Di samping telah ada lembaga tripartit (pemerintah, pengusaha/asosiasi pengusaha, dan pekerja/serikat pekerja) sebagai lembaga komunikasi yang mengedepankan obrolan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, peranan pemerintah yang bersifat preventif yaitu pencegahan terjadinya PHK telah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya.
Langkah pemerintah tersebut di antaranya mengimbau pengusaha biar mengurangi upah dan kemudahan pekerja tingkat atas contohnya manajer dan direktur, mengurangi shift, membatasi lembur, mengurangi jam kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu, tidak memperpanjang kontrak pekerja yang habis masanya, menunjukkan pensiun yang memenuhi syarat, meminta perusahaan untuk melaksanakan efisiensi biaya produksi, termasuk overhead perusahaan, meminta biar setiap pengusaha mengefektifkan lembaga bipartit dan mengedepankan obrolan antara pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan masing-masing.
Apabila dengan cara-cara di atas PHK tidak sanggup dihindari dan pengusaha terpaksa untuk melaksanakan PHK, maka harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari kacamata saya sebagai praktisi di bidang aturan ketenagakerjaan, langkah pemerintah yang menunjukkan imbauan terkait pencegahan PHK di atas dirasa masih kurang cukup. Pemerintah juga harus mengimbau biar perusahaan memasukkan kegiatan pesangon bagi pekerjanya yang difasilitasi oleh pihak penyedia jasa menyerupai itu, contohnya dari asuransi selagi perusahaan tersebut masih beroperasi dan roda bisnis masih berjalan.
Hal itu penting, alasannya yaitu selama ini banyak perusahaan yang tidak beritikad baik, di mana pekerjanya tidak diberikan pesangon dikala terjadi PHK. Sehingga hal ini mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi pekerja dan keluarganya. Dengan menyandang status pengangguran, uang pesangon tersebut akan sangat penting sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama bagi keluarganya, hingga yang bersangkutan menerima pekerjaan gres di daerah lain.
PHK Karena Resesi
Meskipun tidak diperlukan terjadi, namun jikalau risikonya perusahaan tidak beroperasi alasannya yaitu kelesuan ekonomi akhir resesi tersebut dan memutuskan PHK, maka UU No. 13 tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai hak-hak apa saja yang akan diterima oleh pekerja.
PHK alasannya yaitu resesi tidak diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan, tetapi resesi sanggup ditafsirkan sebagai bentuk efisiensi, sehingga sanggup diterapkan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13 tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan, di mana aturan tersebut mengatur bahwa pekerja berhak atas dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4).
Mungkin perusahaan akan merasa berat untuk memenuhi kompensasi di atas, alasannya yaitu itu dalam RUU Ketenagakerjaan masalah pesangon diisukan akan dihapus. Inilah yang menjadi polemik alasannya yaitu Serikat Pekerja/Serikat Buruh menolak jikalau pasal peniadaan pesangon diberlakukan dalam RUU Ketenagakerjaan.
Persoalan lain, dikala perusahaan tidak mau menunjukkan hak-hak pekerja sebagai konsekuensi terjadinya PHK. Permasalahan disputes tersebut mengakibatkan pekerja harus menuntut hak-haknya melalui lembaga penyelesaian kekerabatan industrial yang dimulai dari negosiasi bipartit, mediasi, dan kemudian pengadilan kekerabatan industrial.
Tidak hanya hingga di pengadilan kekerabatan industrial, tetapi hingga pada tingkat kasasi ke Mahkamah Agung (MA) hanya untuk mencari keadilan atas hak-hak pekerja tersebut. Tentu bukan waktu yang pendek, melainkan memakan waktu yang cukup lama. Karena itu untuk terciptanya penyelesaian kekerabatan industrial yang cepat, efisien, dan biaya murah, MA kemudian mengeluarkan SE Nomor 3 tahun 2018 yang pada pada dasarnya dalam kasus perselisihan kekerabatan industrial tidak ada Peninjauan Kembali ke MA.
Masalah lainnya terkait dengan sanksi atas putusan pengadilan kekerabatan industrial. Jika pengusaha memang tidak ada uang atau aset yang sanggup disita untuk memenuhi hak-hak pekerja, maka hal itu menjadi problem tersendiri, alasannya yaitu dianggap putusan hanya memenangkan pekerja di atas kertas, namun tidak mempunyai implikasi apa-apa.
Karena itu dalam RUU Ketenagakerjaan diperlukan biar ada pengaturan khusus yang sanggup mengamankan hak-hak pekerja yang menjadi korban PHK jikalau ada pengusaha yang tidak mau memenuhi hak-hak pekerja atas PHK yang dilakukan.
Meskipun Indonesia belum resesi alasannya yaitu tingkat pertumbuhan ekonomi masih 5%, namun dihentikan merasa kondusif dengan kondisi tersebut. Harus ada langkah-langkah strategis biar kejadian di Turki tidak berimbas. Kondisi dalam negeri juga harus stabil alasannya yaitu para investor selalu melirik negara dengan kondisi yang stabil alasannya yaitu terkait dengan rasa kondusif dalam berinvestasi.
Rolas Tampubolon praktisi kekerabatan industrial dan aturan ketenagakerjaan
Posting Komentar