Jakarta -Belum lama, saya membaca satu komentar di laman Facebook seorang akademisi kondang. Si komentator berkata, "Prof, saya mau minta maaf. Beberapa waktu kemudian saya ingin membeli buku karya Prof. Saya asal cari saja di toko online, dan menentukan seller yang menyampaikan harga termurah. Ternyata sehabis saya beli dan buku itu dikirim hingga rumah, tertangkap lembap itu bajakan. Maaf ya, Prof."
Sejujurnya, saya sebal sama si komentator. Kalau memang tahu itu buku bajakan, lha mbok ya beli lagi yang asli. Kayak orang susah aja. Atau kalau memang benar-benar tak ada lagi anggaran untuk membeli versi asli, mending nggak usah dongeng ke penulisnya hehehe.
Tapi saya tidak ingin memperpanjang kesebalan kecil itu. Yang lebih perlu disebalkan ialah fakta bahwa buku-buku bajakan kini ini begitu telanjang bertebaran di toko-toko online. Tanpa aib para olshoper itu memajang dagangan haram mereka, hingga bahkan menemukan satu terobosan istilah eufemisme gres untuk kata bajakan: repro.
Itu mengerikan. Sepanjang sejarah, kita sudah cukup menyaksikan bagaimana beberapa kata berkarakter eufemisme dipakai untuk menutup-nutupi aneka macam kepahitan. Istilah "dirumahkan" untuk menyebut "dipecat", misalnya. Atau kata "diamankan" untuk menggantikan "ditangkap".
Demikian juga kata "repro" ini. Kata tersebut kependekan dari reproduksi, yang artinya tiruan. Selama ini, istilah reproduksi lazim dipakai untuk kegiatan penciptaan ulang benda-benda yang telah usang, dan diharapkan duplikatnya untuk kebutuhan konservasi. Misalnya reproduksi foto-foto tua. Karena tidak ada duplikatnya, foto itu dikopi, disentuh ulang dengan teknik desain grafis, sehingga ia bisa menjadi cadangan kalau foto yang orisinil rusak.
Namun ingat, benda-benda yang direproduksi itu lazimnya memang berjumlah sangat terbatas, bukan produk massal. Lah kalau repro buku-buku yang dijual di internet itu gimana? Jelas beda.
Buku yang di-"repro" para pedagang online itu masih dicetak massal, dijual dengan legal, sangat gampang didapatkan di mana saja. Lalu kenapa para pedagang itu masih merasa perlu menciptakan versi repro, sambil dengan tegas menyebut istilah repro?
Tentu saja alasannya satu: alasannya istilah eufemistis itu dipakai untuk menutup-nutupi tindakan yang sesungguhnya, yaitu pemalsuan dan pencurian terang-terangan.
Tampaknya itu cuma istilah. Tapi ia merupakan jurus branding yang sangat sakti, dan secara psikologi massa berperan sangat menentukan dalam tersebarnya buku-buku haram itu.
Saya membayangkan, ada ribuan orang yang akan bersikap jauh lebih permisif dikala mendengar kata repro.
"Ini nggak ori, Gan. Repro aja, Gan. Murah, Gan."
"Oh repro ya? Tapi kualitasnya anggun kan? Tulisannya terbaca semua kan?"
"Iya, Gan. Aman. Repro KW super kok ini, Gan."
Maka transaksi pun terjadi. Dengan perasaan bersalah yang sangat minim di hati, atau bahkan tak ada sama sekali.
Akan lain halnya kalau dialognya begini.
"Gan, ini nggak ori, Gan. Buku palsu aja, Gan. Bajakan, Gan. Colongan ini, Gan."
Bagaimana perasaan calon pembeli? Jadikah dia membeli?
***
Saya heran. Kenapa hingga hari ini informasi pembajakan seolah dipandang tak lebih sebagai problem kriminalitas yang merugikan kepentingan ekonomi orang per orang, dan tidak pernah diakui sebagai problem besar kebudayaan? Barangkali alasannya secara kolektif kita tidak cukup bisa mencerna hal wacana secara utuh dan menyeluruh.
Banyak orang mengira bahwa kerugian yang diderita tanggapan pembajakan, khususnya atas buku-buku, hanya memotong potensi royalti dari seorang penulis. Maka, bayangan kejahatan itu tak lebih dari jatah 10% hak royalti penulis. Untuk buku seharga 70 ribu, misalnya, kalau kita membeli satu eksemplar buku palsu, artinya kita "hanya" mencuri 7 ribu rupiah saja dari royalti penulis.
Kemudian kita berpikir simplistis. Penulisnya sudah kondang kok, sudah kaya. Nggak usah terlalu galau.
Padahal, penerbitan sebuah buku merupakan rangkaian proses yang padat karya. Dalam terbitnya satu judul buku, ada banyak sekali pihak yang terlibat di perputaran ekonominya. Mulai dari penulis, editor, pemeriksa aksara, perancang perwajahan isi, perancang sampul, buruh cetak, buruh penata kertas hasil cetakan, operator mesin banding atau jilid, operator mesin potong kertas, operator plastic wrapping, karyawan di gudang perusahaan distribusi, para sopir yang mengirimkan buku ke ratusan toko, hingga karyawan toko-toko buku dan segenap reseller.
Pendek kata, kalau Anda membeli satu eksemplar saja buku bajakan, telah ada ratusan jiwa yang Anda zalimi, berikut segenap anggota keluarga mereka masing-masing.
Lantas dari mana alibi yang sering muncul dengan heroik, seperti tindakan membeli buku bajakan ialah bentuk usaha melawan kapitalisasi ilmu pengetahuan? Perjuangan macam apa yang justru menyengsarakan ratusan kehidupan?
Mari kita perluas lagi spektrum peta ekonomi-perbukuan ini.
Dua malam lalu, saya berjumpa dengan Mas Hairus Salim, salah seorang pelopor senior di Jogja. Dia bercerita bahwa belum lama berselang, seorang pengusaha perbukuan berjumpa dengannya. Mas Salim bertanya, kenapa penerbit milik kawannya itu tak lagi meluncurkan buku-buku bacaan umum aneka macam tema, dan cuma berkonsentrasi pada buku-buku pelajaran sekolah saja.
"Berat, Mas Salim, kalau menerbitkan buku-buku umum," kata si pengusaha penerbitan itu. "Kalau buku sekolah kan masa hidupnya nggak panjang. Kita cetak sekarang, tahun depan mungkin harus revisi bahan lagi. Tapi kalau buku umum, begitu tampak agak laris, pribadi bajakannya keluar semua. Selama sekian tahun buku itu beredar di pasaran, yang lebih laku malah versi bajakannya."
Lihat. Sebuah penerbit yang tidak mengecewakan besar, dan dulu saya ketahui menerbitkan banyak buku berkualitas untuk pendidikan publik, kini menentukan meninggalkan semua itu. Karena pembajakan, penerbitan buku bermutu jadi bisnis yang sangat tidak menguntungkan.
Dari kasus itu tampak sekali bahwa dalam setiap tindakan kita membeli satu buku bajakan, kita berkontribusi bukan hanya pada rusaknya jalur penghidupan segenap stake holder produksi buku versi orisinil yang kita beli bajakannya, melainkan juga kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan industri di perusahaan penerbitan terkait.
Akibatnya, bukan cuma berkurangnya rezeki banyak orang, melainkan hilangnya mata pencaharian. Anda bisa membayangkan, penutupan unit produksi buku umum di penerbit milik mitra Mas Salim tadi berkonsekuensi pemutusan kontrak dengan banyak sekali orang yang bekerja di sana.
Ringkas kata: Anda membeli satu buku bajakan, tidak jauh beda artinya dengan Anda turut andil dalam mengeroyok dan membunuh orang. Ini serius.
Mari kita perluas lagi dan lagi. Dengan matinya produksi buku-buku, siapa yang akan dirugikan selanjutnya? Ya, tentu saja masyarakat pembaca sendiri. Matinya industri buku tanggapan produk-produk mereka terus dicuri akan mengakibatkan hilangnya susukan luas atas pengetahuan.
Mari kita perjelas semakin jauh lagi: satu keputusan Anda untuk membeli buku bajakan ialah bantuan faktual bagi semakin jauhnya masyarakat kita dari proses pencerdasan. Anda menyampaikan sumbangsih faktual bagi pembodohan besar-besaran.
Lantas dari mana munculnya klaim-klaim bahwa pembajakan buku, mulai versi cetak hingga PDF yang disebarkan di internet, ialah usaha penuh heroisme untuk mencerdaskan rakyat jelata?
***
Anda yang belum paham situasi bahwasanya dari industri pembajakan ini barangkali menganggap citra saya terlalu berlebihan. Namun cerita-cerita itu sudah cukup lama saya dengarkan.
Di Jogja saja, di lapak-lapak pasar buku, para pedagang buku belakangan lebih suka memajang buku-buku bajakan di etalase depan. Tentu alasannya murah, dan lebih cepat larisnya. Ketika seorang mitra akal-akalan ingin membeli dalam jumlah besar, para pedagang di sana menyampaikan bahwa hanya dalam dua hari mereka mampu menyediakan ratusan eksemplar bajakan dari suatu judul buku.
Terbongkarlah sudah. Jangan membayangkan bahwa kegiatan pencurian itu hanya muncul satu-dua kasus di toko-toko daring. Ini industri besar. Industri yang sangat besar. Para pembajak itu punya segenap infrastruktur dan jaringan pembajakan, yang dengan kekuatan modal besar bisa bertahan dari serbuan pasal-pasal aturan yang semestinya ditegakkan.
Hampir semua penggiat perbukuan Jogja yang saya kenal tahu fakta-fakta itu. Tapi sudah belasan tahun berjalan, segenap ikhtiar perlawanan tidak membawa hasil yang signifikan. Ada benteng kekuatan uang, jaringan "keamanan", bahkan juga jaringan kekuasaan, yang amat sulit dirobohkan.
***
Pada 26 Agustus lalu, kawan-kawan saya dari Konsorsium Penerbit Jogja mendeklarasikan perlawanan massal kepada para pembajak buku. Deklarasi itu disempurnakan dengan pelaporan resmi ke kepolisian, biar segala bisnis haram pembajakan ini dibabat habis-habisan.
Saya membayangkan segenap elemen masyarakat yang bisa memahami problem dalam spektrum luas turut bergabung dalam gerakan ini. Jika Anda pedagang online maupun offline, berhentilah menjual buku bajakan. Jika Anda pembaca buku, berhentilah membeli buku bajakan. Jika Anda pelopor literasi, jangan pernah menyesatkan banyak orang dengan menebar pandangan sempit bahwa membaca buku bajakan merupakan bentuk usaha demokratisasi susukan pengetahuan.
Jika Anda pemuka agama, segeralah keluarkan fatwa bahwa menjual, membeli, maupun membaca buku bajakan itu haram hukumnya, dan setiap pelakunya akan dibakar selama 5000 tahun di kerak neraka.
Ah, saya jadi ingat wajah almarhum Kiai As'ad Humam di sampul belakang buku Iqro' Jilid 1 hingga 6 itu. Seolah-olah kalimat pendek di bawah foto dia itu pribadi dia sendiri yang mengucapkan:
"Hati-hati buku bajakan! Bisa tidak barokah!"
Iqbal Aji Daryono esais, eks Juru Bicara Serikat Kaum Buku Yogyakarta
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Posting Komentar