Menindaklanjuti Temuan Aysa Dan Anggi Menuju Obat Kanker
Menindaklanjuti Temuan Aysa dan Anggi Menuju Obat KankerAysa Aurealya Maharani dan Anggina Rafitri (Foto: dok: IYSA)

Jakarta -
Dua cukup umur asal Palangkaraya, Aysa Aurealya Maharani dan Anggina Rafitri sukses meraih Gold Medals pada ajang World Invention Creativity (WICO) di Seoul, Korea Selatan. Sebelumnya, mereka juga juara di level nasional dalam Youth National Science Fair 2019 (YNSF) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Keduanya mengangkat nama Indonesia di kancah internasional berkat pandangan gres cemerlang mengolah akar bajakah menjadi obat kanker payudara. Mengingat, istri saya ialah farmasis klinis di rumah sakit khusus kanker, dongeng ihwal pasien-pasien dengan Ca—demikian para tenaga kesehatan biasa menyebutnya—adalah bab dari dialog rumah tangga kami. Jadi, jikalau ada hal gres dalam pengobatan kanker pastinya ialah cita-cita gres bagi banyak pasien dan penyintas kanker, terutama pasien-pasien istri saya.

Anggi dan Aysa menerima pandangan gres untuk meneliti akar bajakah dari pengalaman empiris orang-orang di sekitarnya yang hebatnya bisa mereka garap pada level Sekolah Menengan Atas yang tentunya belum sanggup pelajaran ihwal farmakognosi, apalagi fitokimia. Pada dua ilmu yang di perkuliahan sering dijadikan satu itulah, kita akan mempelajari saponin, flavonoid, alkaloid, dan lain-lain yang sering disebut sebagai penyembuh kanker dan semacamnya.

Meski demikian, penting kiranya kepada kita semua untuk sanggup menjaga ekspektasi pada sesuatu yang disebut sebagai "obat inovasi baru". Untuk sementara, kita bisa menyebutnya sebagai alternatif. Atau khususnya pada orang luar Kalimantan yang belum mengenal akar bajakah, ya sebagai alternatif baru.

Menjaga ekspektasi ini penting alasannya ialah hasil penelitian yang menang itu dikala hingga di Indonesia rumusan judul pemberitaannya jadi aneh-aneh, menyerupai Sah, Penemu Obat Kanker Payudara Adalah Remaja Kalimantan, atau 2 Putri Dayak Raih Emas Berkat Obat Penyembuh Kanker Payudara, maupun judul-judul asing lainnya khas media online.

Bahan Alam

Bahan alam di Kalimantan semenjak usang dikenal mempunyai khasiat obat. Pada 2006, misalnya, situs web LIPI pernah memuat informasi ihwal calon obat kanker dari pohon kayu bintangor kerikil (Calophyllum teysmannii) yang dari getah pohonnya bisa diperoleh senyawa kalanon. Pohon ini banyak ditemukan di Kalimantan. Dalam kancah pengobatan alternatif juga dikenal nama bawang dayak yang asalnya dari Kalimantan, serta banyak teladan lainnya.

Saya pernah bekerja di sebuah laboratorium riset obat baru, sebuah entitas yang cukup langka di Indonesia. Tiga tahun lamanya saya mengelola materi baku bermacam-macam wujud—mulai dari sekadar daun bungur kering hingga cacing Lumbricus rubellus hidup 200 kilogram sekali datang—yang akan maupun telah diteliti untuk dikembangkan ke skala produksi.

Pola kerjanya ialah memakai data-data empiris yang telah ditunjang dengan penelitian perihal kekayaan alam Indonesia yang punya potensi obat. Karena laboratorium itu ialah bab dari entitas bisnis, sudah tentu pengembangan obat-obatnya ditujukan pada penyakit yang memang banyak terjadi di Indonesia. Salah satunya tentu saja kanker.

Jadi, yang masuk ke gudang kelolaan saya itu tiba dari banyak sekali kawasan di Indonesia. Teman saya yang bab mencari barang itu bahkan keliling Indonesia hanya untuk bisa menemukan penjual akar X, daun Y, ikan Z, dan lain-lain dalam jumlah cukup untuk bisa dikembangkan produknya.

Nah, dari materi yang ada biasanya diteliti dahulu kandungan yang berpotensi obat. Kandungan itu lalu "ditarik" dari kompleksitas si materi alam itu dengan memakai metode ekstraksi. Ibarat kata jikalau bikin teh, maka komponen teh yang larut ke air itu ialah hasil ekstraksinya. Ada juga yang tidak larut air, maunya larut dengan alkohol, ya berarti ekstraksinya pakai alkohol.

Bahkan semoga lebih efektif, ialah yang namanya LLE (liquid-liquid extraction). Kaprikornus dalam satu proses, suatu materi dilewatkan dulu ke air untuk ngambil yang jodoh dengan air. Kemudian dilewatkan lagi ke contohnya methylene chloride, untuk mengambil yang sesuai dengan pelarut organik itu. Irit proses, tapi harga mesinnya sungguh mahal minta ampun.

Hasil ekstraksi ini lalu diisolasi. Baik untuk diuji ke binatang hingga ke tingkat molekuler, juga untuk dikenali kandungan aktifnya. Ini untuk menjamin suatu riset obat sanggup dipertanggungjawabkan.

Uji pada binatang juga tidak sembarangan. Ada pedoman etis yang mengacu pada Association for Assessment and Accreditation of Laboratory Animal Care (AAALAC) untuk menjamin bahwa setiap perlakuan pada binatang uji telah menjamin sesuatu yang sederhananya bisa disebut sebagai kesejahteraan hewan.

Adapun uji pada tingkat molekuler lebih spesifik lagi. Pada level inilah khasiat seutuhnya dari suatu materi sanggup dikenali mekanismenya eksklusif pada tingkat sel. Karena bergotong-royong kanker itu bisa disederhanakan sebagai sel yang membelah begitu cepat. Kaprikornus prosedur pada dasarnya harus bisa dikenali hingga tahap ini.

Sesudah itu, jikalau lancar, suatu ekstrak bisa dilanjut hingga formulasi, alias pembuatan wujud sediaan untuk diaplikasikan pada manusia. Baik itu dalam wujud tablet, sirup, maupun model lainnya. Ini juga tidak sepele alasannya ialah harus dicari tepung-tepungan yang cocok untuk bisa menghantarkan suatu materi aktif ke dalam badan dan menunjukkan dampak baik tanpa rusak duluan di luar.

Fase selanjutnya barulah pengujian produk baik pada binatang maupun pada manusia. Untuk yang terakhir ini, namanya uji klinis, dan alasannya ialah biaya plus kesudahannya tinggi jadi hanya akan dilakukan pada produk-produk yang sudah lolos evaluasi secara keamanan, potensi bisnis, hingga kemungkinan diproduksinya kelak.

Seringnya, proses panjang itu tadi tidak berjalan lancar. Dari sisi bisnis artinya ialah uang hilang. Hanya pemilik perusahaan nekat yang berani membiayai riset semacam ini. Saya sempat ditugasi menghitung harga pokok ekstrak yang mencakup harga materi baku dan biaya produksi menyerupai listrik, bayar upah buruh, dan lain-lain, dan jadi tahu bahwa yang namanya riset itu dalam jangka pendek ialah proyek rugi. Soalnya, honor periset dibayarnya sekarang, tapi manfaat yang bisa eksklusif jadi uang dari riset mereka bisa jadi gres muncul 5-10 tahun lagi. Kalau ruginya secara bisnis sudah dianggap berlebihan, ya risetnya bisa disetop.

Belum lagi, perkara fundamental di Indonesia itu ialah ketersediaan materi baku. Terutama materi baku yang sudah distandardisasi, mengingat bahwa produk semacam ini akan butuh materi yang banyak sekali untuk hasil yang terbilang sedikit.

Rendemen sekitar 10 persen saja sudah bisa dibilang sangat bagus. Itu artinya dari 100 kilogram materi baku hanya diperoleh 10 kilogram obat. Padahal, yang rendemennya nol koma sekian juga ada. Maka, jangan heran jikalau obat dari materi alam yang olahannya benar itu harganya memang gila-gilaan, ya salah satunya alasannya ialah faktor ini.

Dalam konteks pengembangan akar bajakah dari dua cukup umur potensial kita, perlu dikenali betul ketersediaannya di alam pada jumlah yang cukup untuk bisa dijadikan produk obat. Dan jikalau memang cukup, akan ada fase standardisasi, soalnya tingkat kekeringan sekalipun bisa mempengaruhi zat yang mempunyai kegunaan obat di dalam suatu bahan. Plus, jangan hingga pula malah menjadi eksploitasi alam hanya gara-gara materi obat.

Pintu Masuk

Capaian Aysa dan Anggi ialah pintu masuk yang harus ditindaklanjuti dengan ciamik oleh pemerintah, bisa juga dengan kampus-kampus, hingga pada perusahaan-perusahaan yang kelak akan bisa menerjemahkan suatu hasil riset menjadi produk yang sempurna mutu, sempurna khasiat, dan sempurna keamanan.

Lagi pula, dulu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dilepas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kementerian Riset dan Teknologi semoga ada kesinambungan riset hingga pada level kampus. Mengingat, keberhasilan Aysa dan Anggi juga ialah keberhasilan dari tingkat SMA, yang dibawa pada lomba oleh universitas, seharusnya risetnya bisa nyambung dalam pengelolaan negara. Semoga saja demikian.

Alexander Arie apoteker, berdomisili di Tangerang Selatan


Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama