Jakarta -
Pemerintah telah mengerucutkan fokus pengembangan destinasi dari 10 destinasi prioritas menjadi 4 destinasi superprioritas, yaitu Toba, Borobudur, Mandalika, dan Labuhan Bajo. Namun dalam kenyataannya hanya satu, yakni Borobudur saja, yang boleh dibilang memang telah memiliki track record mumpuni dan siap dijual. Sisanya masih membutuhkan usaha yang saya rasa tidak mudah. Namun, secara umum termasuk Borobudur masih perlu dibenahi secara matang.
Hanya saja persoalannya, kalau pemerintah ingin mencari quick win ekonomi dari sektor pariwisata, yakni untuk mendapat devisa yang signifikan, maka harus membagi kiprah secara terperinci kepada beberapa stake holder yang eksklusif terkait dengan sektor pariwisata. Karena tiga dari empat destinasi superprioritas harus ditata sedari awal dan dibenahi mendasar pariwisatanya, yang cukup memakan waktu alias tidak sanggup cepat.
Hal ini sanggup dilihat dari data wisman dari keempat destinasi superprioritas tersebut. Lihat saja, wisman ke Sumatera Utara, misalnya, yang kita asumsikan sebagian besar wismannya tiba ke Toba. Berdasarkan data BPS Sumut terbaru, Sumut hanya mencatatkan angka wisman sekira 98 ribuan dari Januari hingga Mei 2019. Artinya masih sangat jauh dibanding Manado, misalnya, yang tahun kemudian saja lebih dari 1 juta dikunjungi wisman.
Boleh jadi, salah satu penyebab turunnya angka wisman setahun belakangan alasannya pemerintah menghabiskan energi untuk 10 Bali Baru, yang notabene angka wismannya belum terlalu signifikan, alasannya harus memulai dari nol. Tapi di sisi lain pemerintah lupa untuk menjaga ritme agresivitas terhadap destinasi-destinasi lain yang justru sudah mapan dan sudah membukukan angka wisman yang signifikan.
Artinya, pemerintah harus tetap melalukan branding, promosi, dan sales secara masif untuk destinasi menyerupai Bali, Jakarta, Bandung, Manado, Bromo Tengger, Batam dan Kepri, alasannya semuanya telah terbukti terserap oleh pasar. Sementara itu, untuk empat destinasi superprioritas, selain fokus membenahi infrastruktur, amenitas, dan meng-create destinasi-destinasi baru, quick win yang paling cepat ialah dengan melaksanakan market mapping secara berbeda untuk keempat destinasi superprioritas, kemudian eksklusif membuka susukan internasional sesuai dengan sasaran pasarnya masing-masing.
Misalnya untuk Toba, sasaran utamanya ialah Malaysia, Singapura, Vietnam, China, Thailand, dan India. Maka pemerintah harus mengusahakan penambahan penerbangan di negara yang telah mempunyai penerbangan ke Toba, dan membuka segera penerbangan eksklusif ke negara-negara sasaran pasar yang belum mempunyai penerbangan langsung. Tentu sebelumnya harus didahului oleh perundingan dengan para pelaku bisnis pariwisata di negara-negara tersebut dan promosi yang terukur di negara mereka. Dengan didahului market mapping, maka setiap pekat-paket perjalanan wisata untuk wisman di negara sasaran pasar nantinya akan lebih terjangkau dan sesuai.
Lalu Labuan Bajo dan Mandalika. Di kedua destinasi ini jalan tercepat selain mencari sasaran pasar tersendiri,adalah dengan meraih pasar wisman Bali. Pemerintah harus duduk bersama dengan pelaku bisnis perjalanan yang banyak mendatangkan wisman ke Bali, baik domestik maupun dari negara asal wisman untuk menambahkan paket lanjutan ke Labuan Bajo dan Mandalika untuk beberapa hari. Paket tersebut sanggup ditambahkan dari yang sebelumnya sudah ada untuk Bali, atau sanggup pula diadaptasi dengan pasar alias dengan membuat paket-paket gres yang mengurangi sehari dua hari di Bali, kemudian memindahkannya ke Labuan Bajo atau Mandalika.
Selain itu, penerbangan-penerbangan eksklusif pun tetap harus diupayakan, sehabis melaksanakan market mapping yang terukur terlebih dahulu. Misalnya untuk Labuan Bajo dengan Pulau Komodo. Status warisan dunia pulau komodo sanggup dieksploitasi dalam branding dan promosi wisata di tataran internasional.
Hal penting lainnya ialah memilih Destination Management Organisation (Lembaga Pengelola) untuk setiap destinasi yang telah ditetapkan di keempat lokasi tersebut. Pemerintah akan gagal mendapat destinasi berkelas dunia kalau destinasi-destinasi yang sudah ada tersebut tidak ditangani oleh forum yang "in charge" dan bertanggung jawab secara khusus terhadap destinasi tersebut. Perbedaan destinasi yang tidak berpengelola dengan yang berpengelola sangat gampang terlihat.
Lihat saja, Mandalika mulai bergeliat namanya sehabis BUMN ITDC menjadi DMO tempat Mandalika, dan berhasil melobi para pihak untuk sanggup mengadakan program internasional di sana. Kendati demikian, ITDC dan pemerintah harus tetap waspada, mengingat Sepang di Malaysia justru melepaskan status operatornya untuk program olahraga semacam itu alasannya merugi. Artinya, ITDC harus fokus mengeksploitasi program tersebut untuk branding dan promosi, dan menemukan ide-ide brilian lain untuk menjaga keberlanjutannya. Kalau tidak, maka sehabis program tunggal tersebut Mandalika berpeluang untuk terbengkalai lagi, kemudian investasi-investasi swasta yang sudah masuk akan suram prospeknya.
Catatan yang sanggup diambil dari Mandalika ialah bahwa selain hal-hal di atas, untuk Toba dan Labuan Bajo, harus diusahakan pula satu atau dua program internasional yang sama sekali berbeda genre-nya. Di Toba, program internasional utamanya harus berbasiskan pada danau, mengingat Danau Toba ialah "main attraction"-nya. Dan untuk Labuan Bajo, dengan pantainya yang luar biasa dan Pulau Komodonya yang hanya satu-satunya di dunia harus dilekatkan dengan acara-acara internasional yang berbasiskan pada "DNA Pariwisata"-nya sendiri. Seperti Pulau Komodo misalnya, yang notabene tipenya ialah special interest tourim, harus dikelola dengan sistem yang berbeda dan di-endorse dengan acara-cara yang juga sesuai dengan tipe kedestinasiannya.
Sementara itu untuk Borobudur yang sudah mempunyai beberapa program internasional harus dilebarkan daya jangkau ke semua daerah di Joglosemar, dengan Borobudur sebagai main attraction. Untuk itu, diharapkan desain kepariwisataan regional yang lebih komprehensif biar tidak hanya satu titik di Borobudur atau di Prambanan saja yang terimbas. Tujuan desain regional atau comprehensive regional tourism masterplan tersebut nantinya ialah untuk membuat length of stay dan spending wisman meningkat. Karena dua hal tersebut yang akan memilih berapa angka devisa yang akan kita raih. Semakin panjang alur destinasi, akan semakin usang waktu yang dibutuhkan, dan akan semakin banyak uang yang akan dibelanjakan oleh para turis.
Langkah strategis selanjutnya yang juga tak kalah penting ialah digitalisasi destinasi. Sembari menyiapkan infrastruktur, amenitas, atraksi-atraksi, dan menggencarkan promosi serta penjualan di negara-negara sasaran pasar masing-masing destinasi superprioritas, digitalisasi promosi dengan konten-konten kekinian untuk setiap destinasi harus mulai dikerjakan. Setiap destinasi superprioritas harus sudah mulai masuk ke peredaran pariwisata dunia secara digital, dibicarakan secara online di tingkat global, dan ada dalam barisan teratas dari setiap pencarian destinasi wisata Indonesia di mesin-mesin pencari. Kemudian, pemerintah harus duduk bersama dengan banyak perusahaan platform penjualan tiket untuk memberi ruang yang cukup kepada empat destinasi superprioritas di dalam setiap iklan wisata mereka, terutama di negara-negara sasaran penjualan mereka.
Terakhir, sembari menjalankan itu semua, pemerintah harus super-aktif melaksanakan koordinasi dan supervisi kepada pemerintah-pemerintah daerah yang terpapar empat destinasi superprioritas tersebut. CEO Commitment dari semua kepala daerah yang terkait harus dibangun secara berpengaruh dan supersolid, dengan tunjangan tingkat literasi pariwisata yang mumpuni. Pemerintah sentra harus mendudukkan semua kepala daerah yang terpapar destinasi superprioritas, menyamakan visi, menyeragamkan literasi dan komitmen, dan menyepakati jadwal koordinasi bersama secara terpola untuk melahirkan energi terbaik dalam mengakselerasi pembangunan pariwisata di keempat destinasi prioritas.
Memang tak gampang untuk mem-boosting angka ekonomi pariwisata di destinasi-destinasi yang penataannya harus dimulai dari deret angka terbawah, tapi probabilitas keberhasilannya akan eksklusif menanjak tinggi kalau janji tidak hanya tiba dari pusat, tapi juga dari semua kepala daerah terkait.
Dityas Nandaristyani pemerhati dan penikmat pariwisata
Posting Komentar