Perempuan Jepang Tolak Kewajiban Sepatu High Heels Di Daerah Kerja
Perempuan Jepang Tolak Kewajiban Sepatu High Heels di Tempat KerjaIlustrasi heels (DW)

Jakarta -

Kampanye #KuToo - permainan kata untuk sepatu, atau "kutsu" dalam bahasa Jepang, dan "kutsuu" atau rasa sakit - dimulai oleh aktris dan penulis Jepang Yumi Ishikawa, yang mengajukan petisi online ke Kementerian Kesehatan pada Senin (3/6).

Dalam beberapa jam saja, hampir 20.000 wanita menandatangani petisi online yang menuntut biar pemerintah melarang perusahaan mewajibkan karyawan perempuannya mengenakan sepatu hak tinggi di daerah kerja.

Yumi Ishikawa meluncurkan kampanye itu sesudah bercerita bahwa beliau dipaksa menggunakan sepatu hak tinggi untuk suatu pekerjaan paruh waktu pada program kedukaan.

"Setelah bekerja, semua mengganti sepatunya dengan sepatu olahraga atau datar," tulisnya dalam petisi online itu, yang menyampaikan bahwa sepatu itu memang tidak nyaman. Dia menambahkan, sepatu high heels sanggup menyebabkan kaki lecet dan gangguan-gangguan lain pada telapak kaki.


Diskriminasi gender

"Sulit untuk bergerak, Anda tidak sanggup berlari, dan kaki Anda sakit. Semua itu alasannya sopan santun," tulis Yumi Ishikawa. Dia menyampaikan bahwa laki-laki tidak menghadapi tuntutan serupa dari daerah kerjanya.

Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok bisnis yang dulu contohnya dibutuhkan mengenakan dasi, sudah punya kelonggaran dan tidak perlu berdasi lagi semenjak ada kampanye "cool biz" tahun 2005 yang didukung pemerintah. Kampanye itu tadinya bertujuan untuk mendorong perusahaan biar menurunkan AC dan menghemat penggunaan listrik. Sekarang, banyak pelaku bisnis dan pejabat pemerintah tidak menggunakan dasi di daerah kerja.

Petisi online ini yaitu upaya untuk mengakhiri diskriminasi gender dan "membuat lebih gampang bagi semua orang untuk bekerja, dan membuat lingkungan kerja yang bebas dari beban yang tidak perlu," kata Yumi Ishikara.

Kementerian kesehatan menyampaikan sedang meninjau petisi online itu dan menolak berkomentar lebih lanjut.

Bukan pertama kali

Ini bukan pertama kalinya perusahaan-perusahaan Jepang dikritik biar memikirkan kembali tata cara berpakaian yang mereka wajibkan, baik melalui hukum tertulis atau tidak. Pada tahun 2005, pemerintah Jepang mendorong perusahaan untuk mengurangi penggunaan listrik dengan mematikan AC di gedung perkantoran. Setelah itu, standar selama puluhan tahun bagi laki-laki untuk mengenakan dasi mulai berubah.

Dalam beberapa tahun terakhir, wanita Jepang makin lantang mengecam kurangnya kemajuan dalam mengatasi seksisme di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Bahkan dalam sebuah kasus Agustus 2018, terungkap bahwa Universitas Kedokteran Tokyo telah meniru hasil ujian masuk perempuan, biar kandidat laki-laki sanggup diutamakan.

Di Inggris, pembalap Nicola Thorp tahun 2016 pernah meluncurkan petisi serupa sesudah beliau dipulangkan dari kantor alasannya menolak mengenakan sepatu hak tinggi. Penyelidikan DPR terhadap hukum berpakaian kemudian menemukan adanya diskriminasi di daerah kerja. Tetapi pemerintah Inggris menolak membuat undang-undang yang melarang perusahaan mewajibkan wanita menggunakan sepatu hak tinggi.

hp/ts (afp, rtr)





Sumber detik.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama