Jakarta -Hiruk pikuk perdebatan soal harga mahal tiket penerbangan domestik ekonomi tak kunjung reda, menciptakan saya harus kembali menuliskan artikel ini sebagai pencerahan untuk menanggapi keresahan publik lantaran harga tiket penerbangan ekonomi domestik stabil mahal. Kondisi menyerupai ini terus berlanjut, termasuk di ketika kampanye Pemilu 2019. Oleh lantaran itu pemerintah melalui Kementerian Koordinator Maritim, Kementerian Koordinator Perekonomian, dan Kementerian Perhubungan merasa perlu untuk turun tangan. Sayang beleid pemerintah kurang sempurna dan justru cenderung sanggup mematikan industri penerbangan.
Pemerintah lupa bahwa memaksa maskapai penerbangan untuk menurunkan harga tiket, yang tidak sesuai pasar, akan menciptakan industri penerbangan semakin terpuruk. Jangan lupa bahwa ujung dari sumber pendapatan industri penerbangan yakni maskapai. Pendapatan maskapai turun, maka pendapatan bandara, navigasi udara, logistik, dan sebagainya juga turun. Dalam teori ekonomi yang saya pahami, keseimbangan merupakan kunci biar semua sektor terkait sanggup hidup dan menjadi motor ekonomi yang baik. Kalau saling menekan menyerupai ketika ini, niscaya akan ada yang out of business atau bangkrut.
Pemerintah telah gagal menjelaskan ke publik mengapa harga tiket penerbangan tetap mahal meskipun sudah dikeluarkan banyak sekali aturan. Tanpa upaya yang serius dan benar, upaya pemerintah yang telah dilakukan tidak mungkin sanggup menurunkan harga tiket penerbangan domestik kelas ekonomi kembali menyerupai awal 2018. "Now Everybody Can Fly" hanya menjadi slogan salah satu maskapai saja lantaran harga tiket pesawat (termasuk LCC) sudah tidak terjangkau publik. Di artikel ini saya akan mencoba mengulas sekali lagi apa saja yang mungkin dikerjakan oleh pemerintah biar harga tiket penerbangan sanggup kembali terjangkau.
Formulasi perhitungan harga tiket penerbangan pernah saya ulas di kolom ini beberapa bulan lalu. Komponen tiket pesawat memiliki banyak variabel, tergantung pada model pesawat (misalnya B 737 atau A 320 atau CRJ-1000 atau B 777-300) dan jenis pesawat (jet atau propeler). Selain itu banyak faktor lain yang harus dimasukkan ke rumus biaya per jam terbang, contohnya biaya operasi eksklusif tetap (sewa pesawat, premi asuransi pesawat, gaji), biaya operasi eksklusif variabel (biaya avtur, biaya pemeliharaan pesawat, jasa bandar udara, biaya navigasi dan ground handling), ditambah biaya operasi tidak eksklusif (biaya umum dan komisi agen). Setelah ditambah margin keuntungan, maka didapatlah biaya operasi pesawat per jam (sesuai dengan model dan jenis pesawat).
Keluarnya Peraturan Menteri No 20 Tahun 2019 dan turunannya berupa Keputusan Menhub (KM) Nomor 72 Tahun 2019, keduanya Tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri ditujukan untuk mengatur formula perhitungan tarif (PM No 20 Tahun 2019) dan mengatur besaran tarif untuk masing-masing rute dan jenis pesawat (PM No 72 Tahun 2019). Besaran tarif batas atas sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri itu belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Iuran Wajib Jasa Raharja (IWJR), dan Tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U). Nah, bagaimana tiket penerbangan sanggup murah? Pungutan resminya saja besar sekali, apalagi pungutan liar tapi resmi?
Ada pertanyaan publik yang tak kunjung dijawab dengan benar oleh pemerintah, "Mengapa tiket Jakarta-Surabaya lebih mahal daripada harga tiket Jakarta-Kuala Lumpur-Surabaya?" Publik beranggapan bahwa tingginya harga tiket kelas ekonomi domestik lebih mahal dari tiket luar negeri yakni bukti bahwa maskapai penerbangan Indonesia tidak efisien dan kebanyakan ambil untung. Tanpa berpihak pada siapapun, mari kita urai satu per satu.
Sebagai pola penjualan tiket penerbangan domestik ekonomi Jakarta-Surabaya dengan maskapai domestik (misalnya dengan maskapai Indonesia Air Asia/Lion Air), selain komponen harga sesuai formula yang diatur Melalui PM No 20 Tahun 2019, masih harus ditambah dengan PPn 10% yang dikenakan pada penjualan tiket, pembelian avtur, suku cadang, landing fee, biaya navigasi, biaya garbarata, biaya ground handling, dan sebagainya. Lalu ditambah lagi dengan IWJR sebesar Rp 5.000 per pax. Kaprikornus sesudah pemanis biaya-biaya ini, maka harga tiket penerbangan Jakarta-Surabaya eksklusif dengan Indonesia Air Asia atau Lion Air lebih mahal, contohnya Rp 1.500.000 per pax.
Di sisi lain ada penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur-Surabaya dengan Air Asia/Malindo (Lion Group) menjual tiketnya dengan harga lebih murah. Ini yang kini sedang menjadi sorotan publik. Bagaimana penerbangan internasional yang lebih jauh jaraknya dan lebih usang waktu terbangnya dengan jenis dan model pesawat yang sama, sanggup lebih murah harga tiketnya? Mari kita uraikan secara sederhana.
Harga tiket Jakarta-Kuala Lumpur dengan Air Asia/Malindo tidak kena PPn 10% lantaran penerbangan ini Internasional dengan maskapai internasional (adanya azas resiprokalitas). Begitu pula pembelian avtur dan penjualan tiket tidak dikenakan PPn 10%, tidak ada iuran IWJR lantaran maskapai absurd dan tidak terkena pungutan 0,3% atas avtur yang dijual untuk BPH Migas. Sehingga harga tiket lebih murah, contohnya Rp 1.150.000 per pax. Kaprikornus penyebab tingginya harga tiket penerbangan Jakarta direct ke Surabaya lebih mahal bukan lantaran tidak efisien tetapi adanya pajak dan pungutan lain sesuai kebijakan pemerintah Indonesia.
Langkah Pemerintah
Jadi tingginya harga tiket penerbangan ketika ini disebabkan lantaran adanya pengenaan pajak (PPn 10%) pada semua transaksi pembelian tiket penerbangan domestik. Apalagi harga avtur berfluktuasi tergantung harga minyak mentah dunia dan ketika ini cenderung naik. Harga dasar avtur di Medan-Jakarta-Surabaya, berdasarkan Kementerian ESDM, sudah lebih murah daripada di Changi Singapura. Namun ketika ditambahkan PPn 10% jadi lebih mahal.
PPn 10% tidak mungkin dihilangkan dan penurunan batas atas atau kenaikan batas bawah tidak mungkin sanggup menurunkan harga tiket penerbangan kembali ke zaman harga tiket murah. Sayonara tiket penerbangan murah. Faktor yang paling lebih banyak didominasi dan paling memilih untuk menurunkan harga tiket penerbangan yakni nilai tukar rupiah khususnya terhadap dolar AS.
Jadi tekanan dari industri pariwisata, menyerupai Asosiasi Hotel dan Restauran serta biro travel model Industri 1.0 tidak sanggup dipakai untuk menekan pemerintah biar menurunkan harga tiket penerbangan menjadi murah. Hantaman industri online di sektor pariwisata, menyerupai munculnya RB and B atau OYO atau Booking.com dan sebagainya harus diantisipasi oleh industri hospitality Indonesia. Jangan salahkan hancurnya bisnis hospitality dan turunnya jumlah wisman sehingga tidak memenuhi sasaran 20 juta di tahun ini hanya lantaran tingginya harga tiket penerbangan. Be creative dan tidak cengeng, mungkin pengelolaan kalian yang kurang baik atau profesional. Mungkin jumlah hotel yang sudah berlebih atau mahal. Mungkin destinasi pariwisata tidak menarik lantaran tidak dikerjakan dengan baik, dan sebagainya.
Selain "mengutak-atik" peraturan, ada baiknya pemerintah juga menyentuh permasalahan fiskal yang menciptakan harga tiket penerbangan tambah mahal, menyerupai keberadaan PPn 10% di semua sektor yang terkait dengan penjualan tiket penerbangan termasuk avtur. Lalu bagaimana menghilangkan retribusi untuk PNBP BPH Migas 0,3% dan IWJR. Selain itu perlu juga perhatian pemerintah biar nilai tukar rupiah yang jeblok sanggup kembali menguat. Minggu ini nilai tukar terhadap dolar AS sudah sempat mendekati Rp 14.500. Kuatkan rupiah kembali ke Rp 12.000 per 1 dolar AS, maka harga tiket akan kembali turun sekitar 40%.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan derma konsumen
Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Posting Komentar