Jakarta -Awal 2019, perfilman Indonesia mengatakan topik menarik: jungkat-jungkit kaya-miskin. Awal Januari, tayang Keluarga Cemara yang mengisahkan keluarga yang gulung tikar dan jatuh miskin. Akhir Januari, beredar Orang Kaya Baru yang bertutur wacana keluarga yang kaya mendadak. Bagaimana kedua film itu menyikapi dinamika perubahan status sosial-ekonomi ini?
Penggambaran kaya-miskin kerap terjebak dalam stereotip miskin-tapi-bahagia atau kaya-tapi-celaka. Stereotip itu bisa jadi dilambari kearifan. Bahwa kebahagiaan itu tidak hanya ditentukan oleh kekayaan. Bahwa ada banyak hal yang lebih berharga daripada harta. Masalahnya, stereotip cenderung menyederhanakan persoalan. Kondisi yang kompleks dirampatkan jadi hitam-putih. Kedua film tadi belum sepenuhnya berhasil lolos dari perangkap ini.
Keluarga Cemara (Yandy Laurens) merupakan prekuel dari kisah yang selama ini kita kenal sebagai cerpen dan sinetron serial karya Arswendo Atmowiloto, memaparkan asal-muasal kemiskinan keluarga tersebut. Abah gulung tikar dan terpaksa memboyong keluarganya dari Jakarta ke desa di dekat Bogor. Film berlanjut menggambarkan proses pembiasaan dan penerimaan mereka ketika mendadak jadi orang miskin.
Padahal, Abah sendirilah yang ceroboh. Bagaimana tidak? Baru saja gulung tikar gara-gara tidak hati-hati bikin surat perjanjian, eh malah diulangi lagi: dalam kondisi emosi lagi galau, tanpa pikir panjang srat-sret tanda tangan sertifikat jual-beli rumah. Bikin kesalahan yang lain dong, Bah!
Lalu, film ini terpeleset tidak mengecewakan jauh. Dewa penolong muncul melalui peluang bisnis yang kekinian dan, masalahnya, sekaligus sarat pesan sponsor: ojek online. Kesannya jadi mirip film-film pendek iklan Thailand yang sering viral di YouTube itu. Film Thailand itu bahkan kadang tidak perlu menampilkan produk yang diiklankan, cukup memasang title card di bab akhir. Dalam Keluarga Cemara, ojek online itu menjadi "bintang".
Dengan menyebabkan Abah sebagai pengendara ojek online, jikalau dibikin sekuel, bakal muncul kerepotan untuk menyejajarkannya dengan pesan yang terkandung dalam kisah awal. Dalam cerpen dan sinetron serial, Abah ialah tukang becak. Kalau tidak terpaksa, kalau tidak betul-betul sudah tidak ada pilihan lain, rasanya orang tidak akan menjalaninya. Abah sebagai tukang becak mewakili orang miskin dalam keuletan, kegigihan, ketidakcengengan, dan kreativitas melawan kemelaratan. Misalnya, rumah bocor ketika ekspresi dominan hujan dinikmati sebagai konser musik.
Lain kisah ketika Abah menjadi pengendara ojek online. Bisnis ini digambarkan amat menjanjikan dan ke depan diramalkan kian menggurita. Anda mungkin pernah mendengar kesaksian wacana pegawai bank yang rela melepaskan kariernya dan beralih menjadi pengendara ojek alasannya ialah prospeknya lebih cerah. Semacam itu. Nah, Abah secara tidak pribadi menjadi bintang iklannya, yang tentu perlu digambarkan meraih taraf kesuksesan tertentu. Entah bagaimana sekuelnya nanti menyiasati dinamika ini.
Orang Kaya Baru (Ody C. Harahap) menggambarkan kondisi sebaliknya, melalui sebuah keluarga dengan tiga anak. Bagian awalnya, ketika keluarga itu masih miskin, terpapar cukup hangat dan cukup segar, mirip adegan berendam di kolam mandi itu.
Sebenarnya mereka tidak miskin-miskin amat. Buktinya bawah umur bisa kuliah dan sekolah di daerah yang mahal. Akibatnya, ada penggambaran kemiskinan yang berlebihan. Sebuah keluarga yang bisa menuruti nasihat Bu Susi untuk sering-sering makan ikan, masak tidak bisa membelikan sepatu layak pakai untuk si bungsu? Lalu, mestikah mereka menyusup ke resepsi ijab kabul orang tak dikenal sekadar semoga bisa makan enak? Tidak cocok untuk orang miskin tetapi idealis mirip mereka.
Lalu, keluarga ini kaya mendadak-secara mengejutkan dan agak ganjil. Sang Ayah ternyata selama ini akal-akalan miskin. Ketika ia meninggal secara tiba-tiba, ternyata ia sudah menyiapkan warisan melimpah bagi istri dan ketiga anaknya. Di sini terlihat betapa gagap si penulis skenario berusaha menyodorkan alasan kekayaan mendadak itu.
Masalahnya lagi, begitu keluarga itu jadi kaya, kisah pun jadi ambyar, berlebihan, dan klise, penuh dengan fantasi dan stereotip wacana orang kaya mendadak. Langsung kalap belanja ini-itu sampai... ya, kira-kira sudah bisa ditebak ke mana ujungnya, bukan? Memang sah-sah saja kalau niatnya mau main-main dan meledek, tetapi tidak adakah proposal yang lebih bernas?
Bandingkanlah dengan kisah berikut ini. Sekantung besar uang jatuh-benar-benar jatuh-ke pangkuan Damian, bocah Inggris berumur 8 tahun. Karena menganggap uang itu dikirim oleh Tuhan, Damian, yang dekat dengan sejarah para santo Katholik, berupaya memakai uang itu untuk memberkati sesama, terutama dengan menolong orang-orang miskin.
Anthony, kakaknya yang berusia 10 tahun, menganggap uang itu sekadar sebagai durian runtuh, suatu keberuntungan yang tak terduga. Ia ingin berfoya-foya dengan uang itu, antara lain dengan menawar apartemen dan membayar sejumlah anak bandel di sekolah untuk menjadi pelindungnya.
Perbedaan perilaku kedua kakak-beradik itu menjadi benang merah film Millions (Danny Boyle, 2004). Secara mengusik film itu dengan jujur memperlihatkan bahwa mempergunakan uang secara murah hati itu tak jarang lebih pelik daripada menghambur-hamburkannya secara tak bertanggung jawab. Bukankah memang demikian tantangan yang kita hadapi?
Melalui dua tokoh, Danny Boyle mengatakan dua perilaku terhadap kekayaan. Dalam Orang Kaya Baru, ada seorang ibu dan tiga anaknya, dan mereka semua kalap, senada-seirama berlomba menghamburkan uang warisan. Tidak adakah seorang pun yang berpikir untuk memakai uang itu secara waras?
Pada akhirnya, keluarga rakus itu seakan-akan dicemooh, "Kalian tidak pantas jadi orang kaya, kalian tidak bisa bertanggung jawab, hidup kalian malah jadi berantakan!" Dan, mereka pun mendapatkan "hukuman" dengan tulus dan bahagia.
Keluarga Cemara dan Orang Kaya Baru, dalam taraf yang berbeda-beda, menguatkan proposal yang hitam-putih itu: hidup-sederhana-tapi-bahagia atau hidup-kaya-tapi-celaka. Miskin mendadak itu musibah; kaya mendadak itu racun. Tidak adakah alternatif yang lain? Dalam Orang Kaya Baru, misalnya, kalau si bapak mau mendidik keluarganya, kenapa tidak selagi masih hidup, dengan memperlihatkan bagaimana hidup secara kaya, terhormat, bijaksana, dan bahagia?
Pada 1973, Sjuman Djaya menghasilkan salah satu karya terbaiknya, Si Mamad. Terinspirasi oleh cerpen penulis Rusia, Anton Chekhov, film ini sukses menyajikan gosip kemiskinan dan efek sosialnya. Kisahnya wacana Mamad, pegawai kantor yang jujur dan tertib. Saking tertibnya, waktu berangkat dan waktu pulang kantornya dijadikan patokan oleh tetangga untuk berangkat bekerja atau berhenti ngerumpi.
Dengan honor pas-pasan, ia menghidupi istri dan enam anaknya. Selama ini ia bisa bangun teguh dalam sikapnya. Namun, ketika didesak oleh kebutuhan menjelang kelahiran anak ketujuh, pertahanannya ambrol. Ia mengikuti kebiasaan teman-teman kantornya: korupsi kecil-kecilan.
Nyatanya, hati nuraninya tak bisa dibohongi. Mamad tersiksa. Ia berusaha menjelaskan duduk perkaranya pada atasannya. Atasannya sesungguhnya maklum-maklum saja alasannya ialah kebiasaan mengutil aset kantor sudah jadi budaya di instansinya. Toh beliau sendiri juga tidak higienis dari korupsi.
Mamad tak siap mendapatkan keadaan ini. Ia bergumul untuk menegakkan kembali integritasnya. Tersiksa oleh somasi hati nurani, Mamad menggali liang kuburnya sendiri.
Film ini cocok betul diputar di sel penjara para koruptor dan pengutil aset negara. Berulang-ulang. Tanpa jeda. Dua puluh empat jam sehari. Dengan volume selantang-lantangnya. Sebuah film yang menohok.
Empat puluh enam tahun lalu, gosip kemiskinan diangkat jadi film komedi tragis yang kaya makna dan penuh gugatan. Kini, jungkat-jungkit kaya-miskin dibesut sebagai materi iklan dan ledekan.
Arie Saptaji penulis serabutan dan tukang nonton, tinggal di Yogyakarta
Tulisan ini ialah kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Posting Komentar