Hancurnya Industri Baja Nasional
Hancurnya Industri Baja NasionalAgus Pambagio (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)

Jakarta -Di ketika Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan infrastruktur, industri baja kita masuk Intensive Care Unit (ICU) lantaran dihantam baja impor dan negara tidak bisa melindungi industri dan melaksanakan penindakan aturan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 110 Tahun 2018 wacana Ketentuan Impor Besi, Baja Paduan, dan Produk Turunannya. Bagaimana tidak masuk ICU, kalau produksi baja nasional terjun bebas, tetapi impor tumbuh pesat. Sebagai pembanding, produksi baja Vietnam (2017) mencapai 11,5 juta ton, sementara Indonesia hanya 5,2 juta ton lantaran tergerus impor.

Hari ini total impor produk besi dan baja (umumnya dari China) sudah melebihi 6 juta ton (data BPS 2018) dan angka ini akan terus meningkat seiring dengan tidak seriusnya Kementerian Keuangan (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), Kementerian Perindustrian (BPPI), dan Kementerian Perdagangan (Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri).

Dalam kondisi yang timpang tersebut, munculnya Permendag No. 110 Tahun 2018 diperlukan dan seharusnya sanggup mengerem kucuran besi baja impor, namun dalam implementasinya ternyata berbeda meskipun isi Permendag sendiri berdasarkan saya sudah baik.

Di tengah hancurnya industri baja nasional, muncul beberapa saran atau masukan dari Bank Dunia yang berdasarkan saya janggal, menyerupai menghilangkan inspeksi pre-shipment di pelabuhan asal barang), menghilangkan surat rekomendasi dari Kementerian (Perindustrian dan Perdagangan), dan menghilangkan tarif impor. Bisa dibayangkan kalau proposal Bank Dunia ini diterima pemerintah dan implementasikan.

Persoalan Mendasar

Kondisi industri besi dan baja Indonesia memasuki lorong panjang nan gelap, padahal pembangunan infrastruktur Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir sangat pesat dan hampir semua pembangunan tersebut memakai besi dan baja untuk konstruksinya. Sementara dibandingkan dengan negara G 20 dan ASEAN konsumsi per kapita baja Indonesia merupakan yang terendah (sumber: World Steel Association Steel Statistical Yearbook 2018).

PT Krakatau Steel (KS) sebagai perusahaan besi dan baja nasional terbesar ketika ini kondisinya nyaris melarat dengan total utang yang sangat besar, yakni sekitar 2,49 miliar dolar AS atau Rp 34,86 triliun (kurs Rp 14.000) pada tamat 2018. Jumlah ini mengalami kenaikan 10,45% dibandingkan 2017 sebesar 2,26 miliar dolar AS. Salah satu penyebab utama utang KS yang terus membesar lantaran adanya impor besi dan baja, khususnya dari China.

Membanjirnya impor produk baja ber-SNI ke pasar dalam negeri juga merupakan duduk kasus besar yang harus dihadapi oleh industri besi dan baja domestik. Produk baja impor ber-SNI ini tidak hanya menyerang industri baja hulu tetapi juga industri hilirnya, menyerupai produk baja lapis (coated sheet). Impor yang tidak terkendali ini telah menjadikan tergerusnya pangsa pasar industri baja nasional yang diikuti dengan rendahnya tingkat utilisasi kapasitas yang berujung pada penutupan pabrik dan PHK.

Dari pemeriksaan pasar yang saya lakukan, meningkatnya volume impor baja ke pasar domestik disebabkan lantaran adanya "kemudahan" untuk mendapat Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT-SNI) bagi produsen baja luar negeri, terutama dari China. Padahal SNI awalnya diterbitkan untuk dipakai sebagai technical barrier, namun rupanya telah terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SNI oleh regulator sendiri yang menghancurkan industri baja nasional.

Membanjirnya besi dan baja termasuk baja paduan masuk ke Indonesia, terutama dari China, mengandung banyak keanehan dan patut diduga disengaja oleh oknum yang mempunyai kewenangan menangani barang impor di banyak sekali kementerian/lembaga terkait. Tanpa tugas mereka, sangat mustahil ada kebocoran barang impor sedemikian besarnya.

Secara peraturan perundang undangan, Permendag No. 110 Tahun 2018 bergotong-royong sudah melindungi produsen besi dan baja domestik lantaran untuk memasukkan besi atau baja impor; importir harus mematuhi semua mekanisme yang diatur dalam Pasal 3 - Pasal 19. Namun dalam implementasinya, Permendag ini justru menambah hancurnya industri besi dan baja domestik. Cukup menyedihkan kalau ternyata Permendag No. 110 Tahun 2018 justru dibentuk untuk menghancurkan industri nasional.

Patut diduga, para importir baik umum maupun pabrikan telah melaksanakan pembusukan isi Permendag No. 110 tahun 2018 tanpa negara sanggup mencegah melalui penegakan hukum. Dengan banyak sekali cara mereka sanggup dengan gampang memperoleh SPPT-SNI yang seharusnya menjadi alat pembatas impor. Permainan ini sanggup berlangsung kondusif lantaran didukung oleh pegawapemerintah yang korup di Kementerian terkait.

Artinya secara tidak pribadi mereka telah melaksanakan pembangkangan secara berjemaah perintah presiden yang telah bertekad untuk meningkatkan ekspor produk nasional dan menyederhanakan semua proses yang berkepanjangan bagi industri. Bagaimana mungkin importir produsen maupun umum sanggup memperoleh STPP-SNI dengan begitu mudah, sehingga sanggup segera memasukkan barang ilegal secara legal tanpa tersentuh pegawapemerintah hukum. Ini perlu pendalaman pegawapemerintah penegak hukum.

Langkah Pemerintah

Niat Presiden untuk mempersingkat perizinan dan proses bisnis dengan memakai sistem digital terintegrasi, menyerupai Online Single Submission (OSS), Indonesia National Single Window (INSW), dan sebagainya ternyata tidak di dukung oleh banyak pihak. Akibatnya tidak banyak mempunyai kegunaan untuk investor besi dan baja nasional. Kebocoran demi kebocoran terus berlangsung tanpa negara sanggup mencegahnya.

Sebagai regulator, khususnya Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian harus segera sanggup melaksanakan audit atas kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan Permendag No. 110 Tahun 2018. Kemudian segera lakukan penegakan aturan bagi pelanggar Permendag tersebut.

Akhir kata, menjelang pergantian anggota kabinet, presiden harus menempatkan para pembantunya yang mempunyai kemampuan untuk menangani para pemburu rente importasi, punya integritas tinggi dan sudah kenyang; sehingga tidak mempunyai hawa nafsu korupsi. Namun kalau presiden tidak bisa mencari pembantunya dengan kriteria tersebut, sebaiknya industri besi dan baja nasional ditutup saja daripada berjalan namun terus merugi triliunan rupiah.

Agus Pambagio pemerhati kebijakan pubik dan pemberian konsumen

Tulisan ini yaitu kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!

Sumber detik.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama