Jakarta -Penjelasan ini akan sulit dipahami oleh generasi renta yang tidak familiar dengan Instagram dan Youtube. Begini, stok ustaz alias tukang ceramah masa kini, kini sudah jadi industri. Kok bisa? Ya, lantaran memang ada pabriknya. Model paling mutakhir, pabrik ustaz ini memperlihatkan training public speaking (bahasa keren dari ceramah) dan training memproduksi konten di media digital. Pendeknya, mencetak sosok yang sanggup ngomongin agama di depan kamera. Tentu ini meliputi keterampilan tampil keren dikala difoto serta lancar dikala divideo.
Untuk itu, penerima training tidak perlu seseorang lulusan pesantren atau sekolah agama, yang penting mau hijrah dan punya komitmen dakwah. Definisi dakwah yakni memberikan kebaikan, toh memberikan kebaikan lewat Instagram atau Youtube itu mudah. Hanya modal percaya diri dan modal ngomong. Lain kisah kalau ulama betulan, yang harus mendampingi masyarakat kelaparan yang tak pernah punya rencana besok makan apa lagi. Sekali saja antum ceramah, bisa-bisa dilempar bakiak.
Aktivitas macam begini justru tidak sanggup dilakukan para santri. Pertama, santri masih sibuk menghafal kitab. Tradisi ilmu dalam Islam biasanya dibangun oleh kitab-kitab yang berjenjang. Jadi, buat paham kaidah (ushul) dari sebuah aturan saja perlu waktu lama. Kedua, tradisi santri yakni tawaduk. Santri tidak akan berani banyak bicara kalau ada orang lain yang dianggap lebih otoritatif dalam memberikan pengetahuan. Seorang kiai muda pun biasanya cuma sanggup menunduk kalau masih ada kiai sepuh.
Remaja yang kebanyakan usia Sekolah Menengan Atas dan mahasiswa tentu saja amat tertarik dengan bisnis tukang ceramah ini. Di masa hashtag, algoritma, dan trending topic, seseorang harus menjadi relevan, ditentukan dari jumlah follower. Sindikat pabrik ustaz ini sudah beken. Sekali antum diorbitkan, jaminan pribadi terkenal. Citra antum yakni gaul, tapi tetap syar'i. Lebih-lebih, materi ceramah agama yang disukai anak muda nggak perlu susah-susah.
Kalau antum masih SMA, bakal dijadikan ustaz dengan materi ceramah seputar perlawanan terhadap film Korea, game online, dan pacaran. Kalau antum sudah mahasiswa, bakal dijadikan ustaz dengan materi seputar jodoh, pernikahan, sambil sesekali kampanye politik Islam. Wah, berat tuh yang nomor terakhir. Tenang, dalam bisnis ini ada istilah soft selling alias main halus. Cukup bahas kulit-kulitnya saja, begitulah teknik propaganda yang efektif.
Yang bikin payah, bagaimana kalau stok ustaz yang matang lantaran karbitan bagaikan buah yang tidak masak alami dari pohonnya ini lalu jadi rujukan. Saya menemukan komentar dari akun Himpunan Mahasiswa Jurusan sebuah universitas mentereng pada video ceramah ustaz-ustazan ini. "Assalamualaikum Ustaz, kami ingin mengadakan seminar nasional yang bertema fenomena hijrah untuk mengokohkan identitas bangsa. Apakah ustaz sanggup menjadi pemateri seminar keagamaan kami?"
Mari kita cek mulai dari tema. Saya sungguh tertarik dengan kajian dan riset sebelum para mahasiswa itu mencetuskan tema. Bagaimana mahasiswa itu mendefinisikan fenomena hijrah? Apa definisi mereka soal identitas bangsa? Mengapa mereka menentukan kata kerja "untuk mengokohkan" dibanding pilihan kata kerja lain menyerupai contohnya "pengaruh", "dampak", dan seterusnya.
Selanjutnya, apa alasan akun himpunan mahasiswa itu menentukan dewasa pembuat konten digital yang kebetulan agamis untuk menjadi pembicara seminar nasional soal identitas bangsa? Video ustaz dewasa ini sering memuat konten yang memusuhi identitas kebhinekaan dalam sebuah bangsa. Beberapa video bahkan cenderung berwajah buzzer politik. Jika para mahasiswa ingin membicarakan sebuah fenomena, tentu saja ada banyak andal ilmu sosial dan praktisi kemasyarakatan untuk bicara.
Jika mahasiswa menyebut acara itu sebagai seminar keagamaan, ada cendekiawan muslim yang lebih layak menyebarkan pengetahuan kepada mahasiswa. Menarik juga mengamati para mahasiswa yang membiayai kuliah dengan mahal, punya beban studi yang cukup berat, dilabeli sebagai distributor perubahan, tetapi memasrahkan otoritas berpikir atas tema serius kepada penyedia konten digital "palugada".
Toh, semestinya para mahasiswa yang sudah berguru filsafat ilmu, filsafat hukum, filsafat bahasa, sampai filsafat seni mestinya lebih percaya diri dibanding dewasa keluaran training public speaking. Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise bilang bahwa insan kebanyakan mengandalkan media untuk membuatnya tahu, untuk memisahkan fakta dari fiksi, dan untuk menciptakan hal-hal yang rumit sanggup dimengerti dalam waktu yang relatif singkat, alasannya mereka tidak punya banyak waktu dan tenaga untuk mengikuti perputaran informasi di dunia yang sibuk ini.
Tapi, itu kan insan kebanyakan. Status mahasiswa yakni pembelajar di sebuah forum yang disebut universitas. Pembelajar tidak hanya mencari informasi untuk sekadar memuaskan dahaga, melainkan melakoni acara pencarian kebenaran menurut fakta-fakta ilmiah.
Pembelajar tidak berhenti sesudah mendengar ceramah seorang dosen. Pembelajar memproses informasi objektif dengan epistemologi sebuah cabang ilmu tertentu sebelum jadi sebuah simpulan. Sebaliknya, ustaz yang lahir dari bisnis training public speaking merasa memberikan sebuah kebenaran adikara tanpa peduli pandangan kebenaran orang lain.
Sayangnya, baik ustaz dewasa maupun himpunan mahasiswa yang mengadakan program seminar itu tak merasa acara yang mereka lakoni berbahaya bagi hajat inti terciptanya dunia, yaitu kehormatan ilmu pengetahuan.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam memberikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Tulisan ini yakni kiriman dari pembaca detik, isi dari goresan pena di luar tanggung jawab redaksi. Ingin menciptakan goresan pena kau sendiri? Klik di sini sekarang!
Sumber detik.com
Posting Komentar